Part XVIII

2 3 0
                                    

Happy reading!
~

Yaya : Nggak beli es krim?

Aku menatap chatku. Kembali teringat pada diriku sendiri yang tak punya stok es krim. Pengambali mood-ku ketika sedang buruk.

Ting!

Panggih PGSD: Nggak.. nnti vino mnta
Yaya : Oh iya nggak boleh ding ya
Panggih PGSD: Untuk skrng, jngn dlu

Wajar sih, jika adik bungsunya tak boleh makan es krim. Kemarin, Vino demam dan sempat membuatku sedikit resah, sejujurnya. Tapi resahku sudah berlalu ketika aku tahu, anak itu sudah baik-baik saja.

Aku memang cenderung tertarik dengan anak orang lain. Tapi dengan adikku sendiri, kadang membuatku kesal sampai pusing. Karena aku kebingungan mencari cara menghadapi mereka. Cara agar mereka jera untuk bertengkar dan sehari saja terlewat tanpa adanya tangisan Nirmala maupun kemarahan Elgio.

Yaya : Biasanya boleh?
Panggih PGSD: Boleh
Yaya : Rasa apa?
Panggih PGSD: Apa aja dia mau
Yaya : Kayak kamu
Panggih PGSD: Betul bgt
Panggih PGSD: Vino klo maem kyak aku, apa aja mau
Yaya : Kasih batu sama kayu, mau?
Panggih PGSD: Klo maem, ya makanan sayang :)
Yaya : Wkwk
Panggih PGSD: Untung sayang
Yaya : Sayang siapa?
Panggih PGSD: Mbak-mbak yg lagi tak chat
Yaya : Oh kamu lagi chat sama mbak mbak
Panggih PGSD: Mbak Zoya Zenitha
Yaya : Wkwk

Zoya Zenitha.

Aku membaca namaku yang tertulis di room chat-nya. Sebenarnya, namaku terdiri dari tiga kata. Kata terakhirnya diambil dari nama papa, Wicaksana.

Aku dulu mencintai nama belakangku. Dulu, nama panggilanku adalah Ana. Ana yang dalam bahasa jawa artinya ada. Kakek buyutku bilang, Ana berarti aku ada. Aku ada sebagai awal kehidupan baru mama dan papa. Aku ada sebagai karunia pertama.

Tapi aku benci ketika aku tahu, tentang adanya diriku. Bagaimana aku ada, mungkin karena sebuah kesalahan. Aku terlahir dari sebuah kesalahan. Kesalahan yang telat disadari oleh mama dan papa.

Kesalahan yang membuat keduanya menerapkan pola hidup dilarang mengulang kesalahan yang sama. Pola asuh yang membuat aku dan adik-adikku harus tunduk. Meski sudah tak terhitung berapa kali kami pernah membantah, tapi pada akhirnya, mengalah sudah jadi jalan yang kami harus lalui.

Mengalah, kata itu seolah sudah jadi bagian dari diriku. Aku yang tertua dan harus mengalah. Bahkan ditiap kedekatan yang tengah kujalani pun, aku harus mengalah. Tapi dengan mengalah, laki-laki tunduk dengan perlahan. Dan saat itulah, aku merasa diriku menang? Bukan. Aku merasa diriku perempuan jahat.

Persis seperti apa yang Mahendra bilang dulu ketika aku menolaknya, aku hanya perempuan bodoh, tak punya otak, gampangan dan bekas orang lain. Aku menangis kala itu. Namun aku kembali tersenyum setelahnya. Karena aku sadar, semesta sengaja melakukan ini. Agar aku melihat siapa Mahendra dan bagaimana dia yang sebenarnya.

Itu kali pertama diriku direndahkan oleh laki-laki. Apa aku marah? Ya, aku marah. Sangat marah sampai aku merasa bersalah. Karena aku merasa jadi sumber kemarahannya. Setidaknya, dulu dia bisa jadi sosok kakak yang baik. Sosok kakak yang tak pernah aku miliki.

-

Ting!

Panggih PGSD: Knpa?
Panggih PGSD: Hhm
Yaya : Nggak apa apa
Panggih PGSD: Sehat?
Yaya : Enggak

Aku memang sedang tidak sehat. Badanku panas dan tugasku tak tanggung-tanggung dalam membuatku mumet. Leherku pegal, mataku panas dan lelah.

Panggih PGSD: Sini sini, tak sayang dlu. Biar sembuh
Panggih PGSD: :v
Yaya : Sayang, tolong kerjain tugasku, dah nggak jadi aku
Panggih PGSD: Nggak jadi apa?
Yaya : Sakit

Jika sedang begini, kalimat Elgio kerap kali terlintas dalam pikiranku. Dia bilang, "Cari laki-laki itu yang lebih tua dari kamu, Jen. Jangan cari yang lebih muda apalagi yang seumuran. Oke lah, kalo dia lebih smart, he's know everything dan bisa teach kamu banyak hal. Kalo dia lebih bego dari kamu, mau belajar dari siapa kamu?"

Aku sejujurnya sakit hati dengan perkataan Elgio. Memang apa salahnya jika aku punya pasangan yang seumuran? Apa salahnya aku suka dengan para brondong?

"Salah! Kamu akan salah ketika suka sama orang-orang yang nggak bisa bikin kamu yakin sama dirimu sendiri. Suka sama orang yang bahkan nggak bisa ngertiin luar dalemmu. Suka sama orang yang nggak bisa treat perempuan dengan baik. Lagipula, kriteria laki-laki yang kamu harapkan jadi suamimu itu terlalu tinggi! Mikirlah sedikit, Jen.

Semua kriteria bakal terhapus ketika udah ketemu sama yang bikin nyaman? Cih. Kasurmu juga bisa bikin nyaman, Jen. Sekalipun ada orang yang bisa bikin nyaman, tapi pasti ada banyak yang nggak kamu suka darinya. Dan yang nggak kamu suka itu bisa jadi alasan kenapa kamu nggak bisa diajak berjuang."

Tapi tiap-tiap kalimat yang Elgio bilang padaku, seolah menamparku. Panas, pedih, sakit tapi membuka pikiranku. Terlalu terpaku pada kata nyaman justru menjadi toxic dalam sebuah hubungan.

Panggih PGSD: Bisa di cancel?
Yaya : Sakitnya apa sayangnya?
Yaya : Sakitnya bisa
Yaya : Sayangnya juga bisa
Panggih PGSD: Sakitnya aja, sayangnya jangan
Yaya : Sakitnya udah nggak bisa nih
Yaya : Sayangnya masih bisa
Panggih PGSD: G boleh tpi
Yaya : Nggak boleh apa?
Panggih PGSD: Sakit
Yaya : Heumm
Yaya : Kamu ngerjain apa?
Yaya : Mau unduh susah nih
Panggih PGSD: MBS
Yaya : MBS?
Matematika bahasa spanyol?
Panggih PGSD: :')
Panggih PGSD: Manajemen Berbasis Sekolah
Yaya : Ehehhe

Aku meletakkan ponsel dan memijit keningku. Bergantian memijit tengkuk, lengan dan kaki. Sakitnya sampai sekujur tubuhku.

"Kakak, minum yang banyak. Jangan kebiasaan, nugas terus tapi nggak makan apa-apa, nggak minum sedikitpun. Nanti kamu sakit."

Mama masuk ke dalam kamar. Dia sudah kembali dari puskesmas sebelum lebaran datang kemarin. Hari-hari setelah hari raya berlalu, tak ada yang istimewa. Tak ada piknik, tak ada kunjungan, juga tak ada yang berkunjung.

Padahal aku sudah berharap banyak, aku mengharapkan kehadiran beberapa teman lamaku. Tapi semua harapku harus pupus ketika melihat sekitarku. Pandemi belum berlalu dan hatiku sudah terlalu banyak meragu.

Meragukan kedekatan yang sedang kujalin. Terus bertanya-tanya, akan berakhir seperti apakah aku dan dia? Apakah kami akan terus bersama sampai tahun berganti? Atau dia akan lebih dulu pergi?

Aku penasaran sekaligus takut akan kehilangan. Aku ingin jawaban, tapi aku takut jawaban itu melukaiku. Aku ingin kejelasan, tapi aku takut kejelasan itu mengosongkan semua pikiranku. Aku ingin kepastian, tapi aku takut kepastian itu membuatku kembali patah untuk yang kesekian kali.

Ini adalah kali pertama dalam hidupku. Ada sosok yang menemani sedihku. Ada sosok yang menhiburku. Ada sosok yang memberiku nyaman dan merasa dia tempat kembaliku ketika aku penat dan ingin melepas semua rasa. Dan ketika aku harus kehilangannya, bisakah aku merasakan sakit yang begitu singkat?

~to be continued~
Uploaded on 23 Agustus 2020

Kamu & Tugas Dari Semesta [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang