Part VIII

3 3 0
                                    

Happy reading!
~

"Pulang dulu ya, Ma." Aku berpamitan pada mama ketika Pak Ilyas datang menjemputku.

Mama mengangguk dan berujar, "Hati-hati di jalan."

Aku mengiyakan dan keluar dari ruangan dengan perasaan yang masih kacau. Ponselku kehabisan baterai dan aku tak tahu apakah sudah ada temanku yang mendonorkan jawaban.

"Tadi ke rs naik apa?" tanya Pak Ilyas.

"Ojek, hehe," jawabku sambil cengengesan.

"Abis nangis ya?"

Aku menggeleng. "Enggak lah," elakku.

Pak Ilyas mendengkus pelan kemudian mempercepat langkah menuju tempat parkir. Aku pulang dengannya karena mama yang meminta. Padahal aku ingin menginap dan menemaninya.

-

Aku meletakkan tas ranselku di kamarku yang kini tak lagi berfungsi sebagai kamar. Melangkahkan kaki menuju meja makan dan menduduki salah satu kursi. Kuteguk segelas air putih untuk menghilangkan rasa hausku. Kemudian terdiam lama.

"Balik sama siapa, Jen?" Elgio--adik laki-lakiku--bertanya saat dia mendapatiku sudah berada di rumah.

"Pak Ilyas," jawabku.

Elgio menganggukan kepalanya kemudian terdiam menatapku. "Sudah ke mama?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Aku langsung ke mama dari siang," jawabku.

"Jenita."

Aku mendesis sengit. "Zenitha, Gi. Bukan Jenita," ujarku.

Elgio memang kebiasaan sekali memanggilku dengan nama Jeni. Laki-laki itu tidak mau menyematkan embel-embel 'Kak' di depan namaku. Menyebalkan tapi yasudahlah. Aku lelah bila harus mendebatnya.

"Suka-suka lah." Elgio memutar bola matanya malas. "Aku mau cerita," lanjutnya.

Alisku terangkat sebelah, tumben sekali, batinku.

"Aku sebenernya ngerasa bersalah sama mama. Di waktu mama di bawa ke rs, aku bantah perintahnya untuk nggak keluar rumah. Posisiku saat itu, aku mau potong rambut tapi nggak ada yang anter. Akhirnya aku nekat berangkat sendiri dan baliknya, tau-tau mama udah nge-drop dan mau di bawa ke rs."

Aku menghela napas pelan. "It's ok, bukan salah kamu sepenuhnya kok," ujarku menenangkannya.

-

"Kakak!"

Aku menoleh ke arah sumber suara. Kulihat adik perempuanku yang menginjak umur 7 tahun berdiri di ambang pintu depan rumah. Aku hanya tersenyum dan menyambut dirinya dengan pelukan. Anak itu cengengesan dan mulai berceloteh kepadaku.

Membuatku gemas sendiri. Ia mengadukan kelakuan kakak laki-lakinya yang tak mau bergantian belajar. Gara-gara serba daring ini, pembelajaran via online kedua adikku kesulitan. Karena hanya ada satu ponsel yang dapat digunakan, itupun jika ponselnya bisa dicharger dan terisi penuh. Sayangnya, ponsel itu bermasalah. Jadilah keduanya kadang saling bertengkar dan berebut ponsel untuk belajar.

"Udah makan, Jen?"

Aku menggeleng menanggapi pertanyaan Elgio.

"Ok, tunggu. Kubuatin mi bentar." Elgio langsung berlalu setelah berujar seperti itu. Aku mengerjap pelan dan tersenyum tipis.

-

"Kak, aku ngantuk." Nirmala--adik perempuanku--masuk ke kamarku.

Aku mengalihkan pandangan dari kertas folio yang sudah terisi jawaban statistika dasar hasil dari pintaku pada teman sekelasku. Untung saja, ada beberapa dari mereka yang mau mengerti dan berbagi sedikit jawaban. Coba saja mereka egois, sudah pasti saat ini aku tengah menangis sembari mengerjakan soal ini sendiri.

"Udah makan malam?" tanyaku.

Nirmala menganggukan kepalanya.

"Minum anget?"

"Udah, Kak," jawab Nirmala sembari tersenyum bangga.

"Gosok gigi?"

Nirmala meringis dan berkata, "Belum, hehe. Bentar, aku mau gosok gigi dulu."

Anak perempuan itu langsung pergi dari kamarku dan melakukan ritual wajibnya sebelum tidur. Aku kembali menatap lembar jawaban statistikaku. Kemudian kembali menyicil agar cepat selesai dan bisa kukirimkan malam ini sebelum kelewat deadline.

Kucoba meng-aktifkan data selulerku dan untungnya ada sinyal yang nyangkut. Ah, sedikit membuatku lega karena aku takut aku tak punya sinyal sama sekali. Di daerah dataran tinggi di tempatku memang sulit mendapatkan sinyal. Itu juga jadi kendala besar bagi para pelajar di tengah pandemi yang mewajibkan mereka semua belajar di rumah.

Ting!

"Yuk, Kak."

Bertepatan dengan suara notifikasi whatsapp, Nirmala juga sudah selesai gosok gigi. Aku menggiringnya menuju kamar yang dulunya dijadikan sebagai tempat sholat, namun kini disulap sebagai kamar oleh kedua orang tuaku.

Tidak ada ranjang tempat tidur, yang ada hanya karpet plastik dan dua buah kasur tipis yang ditumpuk jadi satu. Dan untuk sentuhan terakhir, kelambu warna merah jambu cerah sebagai pelindung dari nyamuk.

Aku memeluk Nirmala. Gadis itu tak bisa tidur sendirian. Dia akan menangis jika tidak ditemani tidurnya.

Jemariku menekan tombol power pada ponsel. Sengaja kubawa ponsel ke dalam kamar karena aku belum sempat membaca pesan yang masuk. Mumpung ada sinyal, jadi harus kumanfaatkan sebaik mungkin.

Panggih PGSD : Mau telfonan lagi nggak?

Mataku terbelalak kaget membaca pesan berisi penawarannya. Ah, sayang sekali. Jikalaupun aku mau, aku takkan bisa melakukannya. Karena ya, aku tak punya sinyal memadai untuk menerima telepon via online. Bisa berbalas pesan via online saja aku sudah bersyukur. Tak perlu muluk-muluk dan ingin bertukar suara.

Aku sejujurnya tidak terlalu nyaman jika harus melakukan panggilan suara maupun video via online. Selain buang-buang kuota dan batre hpku yang sudah error. Hal semacam itu juga sedikit mengangguku. Karena aku tak begitu suka berbicara.

Omong-omong, aku sudah memberikan jawaban mama pada pemuda ini. Dan reaksinya memang persis seperti yang kutebak. Pemuda ini akan bersikap biasa saja. Hah, memang apa yang kuharapkan? Kalimat protesnya? Mengharapkan permohonannya?

Aku mendengkus pelan. Kemudian mengetikan beberapa pesan untuk pemuda yang masuk ke daftar pemuda yang kutolak. Hm, sudah berapa kali aku menolak laki-laki? Pastinya sudah tak dapat dihitung dengan jari tanganku.

Dibeberapa kesempatan, aku dapat melihat gigihnya perjuangan dan mudahnya perjuangan itu dihancurkan. Selain itu, aku juga pernah melihat bagaimana laki-laki yang berkata dirinya akan memilihku, justru berakhir dengan perempuan lain yang naasnya, perempuan itu adalah temanku.

Belum lagi saat aku menerima banyaknya caci maki dari seorang laki-laki yang tak terima dengan keputusanku. Bahkan dikatai 'perempuan bekasan'-pun, aku pernah. Aku takkan lagi merasa heran dengan apa yang dilakukan oleh laki-laki setelah kutolak. Yang terpenting, belum ada dari mereka yang memutuskan untuk mengakhiri hidup setelah kutolak. Mereka kini tengah menikmati hidup bersama pasangan mereka, pekerjaan mereka, keluarga mereka dan hal-hal yang membuat hidup mereka lebih bermakna. Mereka tentunya sudah lupa pada aku yang hanya jadi secuil kenangan di dalam masa lalu mereka.

Hm, kenapa aku jadi cerita panjang lebar seperti ini?

Aku memutar bola mata setelah melamunkan masa laluku. Kulirik Nirmala yang sudah tertidur dan akhirnya aku kembali ke dalam kamarku. Kembali melanjutkan menyalin jawaban tugas. Ketika pesanku pada Panggih sudah centang 1. Saat itu aku langsung me-non-aktifkan data seluler. Aku butuh istirahat setelah mengerjakan soal statistika dasar ini. Aku sedang malas begadang dan membuat badanku remuk.

~to be continued~
Uploaded on 20 Agustus 2020

Kamu & Tugas Dari Semesta [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang