"Rin, aku pesan dua ya. Kerudung Amira mocca dan hitam." Sindi.
"Rin, aku pesan kerudung Khadijah dua ya, warna baby pink dan biru muda." Wenda.
"Rin, aku pesan kerudung Amira 5 ya. Adikku juga pengen, katanya lucu dan nyaman. Warna biru tua, hitam, kuning, pink, dan ungu ya." Farah.
Beberapa pesan dari teman-temannya membuat senyum Arini mengembang sempurna, kerudung buatannya kini mulai dikenal oleh teman-teman di kampusnya. Awalnya Zahra mengenakan kerudung buatan Arini saat mengikuti kajian di masjid kampus, ternyata banyak yang melirik dan bertanya tentang kerudung bergo bertali yang imut itu.
Zahra sangat senang karena Arini mendapat banyak order dari teman-temannya, hingga secara perlahan Arini mulai membuka sebuah toko hijab yang terletak tak jauh dari kampus. Toko itu ia beri nama "Nur Hijab" dengan logo matahari di setiap produknya.
Kini Arini sudah tak sendiri dalam memproduksi kerudung-kerudungnya, karena ia memiliki empat orang karyawan. Bagian menjahit ada dua orang yaitu Wati dan Nila, sedangkan bagian menjaga dan melayani pembeli di toko ada Mutia dan Citra. Wati adalah tetangganya, ia single parent dengan satu anak perempuan yang cantik, sedangkan Nila adalah keponakan Wati, sedangkan Mutia dan Citra adalah teman semasa SMP yang sudah ia kenal cukup baik sejak dulu.
Arini juga sangat senang karena Zahra juga turut membantunya memasarkan produk-produk Nur Hijab secara daring maupun langsung pada teman-temannya. Zahra selalu mendukung dan membantunya dalam setiap langkah menuju kebaikan.
Di sisi lain dari keberhasilannya mewujudkan keinginan memiliki produk hijab, ada satu yang disayangkan, Arini belum memiliki keinginan untuk berhijab. Mungkin hatinya belum terketuk oleh hidayah, ataukah ia yang belum menjemput hidayah. Entahlah.
Selama ini ia selalu mengagumi setiap perempuan yang berhijab, terutama Zahra, sahabat yang selalu ia kagumi karena akhlaknya yang luar biasa menurutnya. Zahra pun berkali-kali telah mengingatkan, mencoba memancing agar Arini juga berkenan untuk berhijab. Tapi, bukankah keinginan itu haruslah tumbuh dari hati sendiri?
Seperti siang ini, Arini sedang melamun ke arah luar tokonya. Sepertinya ia terkagum-kagum pada seorang ibu muda dengan hijab panjangnya yang sedang menggendong anak kecil yang juga mengenakan kerudung lucu berwarna pink senada dengan bajunya. Ibu muda dan anaknya itu tidak sendiri, tetapi bersama seorang laki-laki bertopi hitam yang tidak asing lagi, sepertinya itu sang suami. Mereka berjalan ke arah tokonya.
'Hmm, keluarga kecil yang bahagia.' Gumam Arini dalam hati.
"Assalamualaikum...." Ucap perempuan muda itu sambil membuka pintu. Ia masuk toko sendiri, anak kecil dalam gendongannya tadi bersama laki-laki bertopi hitam sedang makan es krim di depan tokonya.
Arini tak bisa melihat wajah laki-laki itu karena ia membelakangi toko, Arini penasaran siapa laki-laki yang sepertinya tidak asing itu. Tapi, buru-buru ia mengalihkan pandangan dan menjawab salam dari calon pembelinya itu, ia juga tak enak memandangi laki-laki yang sudah menjadi suami orang lain.
"Waalaikumsalam, silakan Bu." Jawab Arini dengan senyum ramah.
"Aduh jangan panggil Bu, panggil Mbak saja ya. Kesannya tua banget gitu kalau dipanggil Bu." Kekeh perempuan itu.
"Oh iya, maaf Mbak." Ucap Arini sambil tersenyum. Perempuan itu memanglah masih muda, cantik, beruntung sekali suaminya.
"Perkenalkan, saya Kirana."
"Saya Arini." Arini menjabat uluran tangan Kirana.
"Mbak Arini pasti pemilik toko ini. Saya dapat rekomendasi dari adik saya, katanya produk Nur Hijab ini sangat bagus, nyaman, dan jahitannya rapi." Puji Kirana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sewindu Tanpamu
Teen Fiction"Sewindu tanpamu telah kulalui bersama luka yang bertubi-tubi kau torehkan dalam hatiku." (Arini) "Maafkan aku Arini, sewindu mempermainkan perasaan dan rindumu yang tulus padaku." (Shaka) "Berawal dari jingga dalam senja, aku menyukaimu tanpa senga...