5. Membara

73 6 0
                                    

Ujian kenaikan kelas telah berlalu, libur semester telah berakhir, kini saatnya masuk sekolah seperti biasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ujian kenaikan kelas telah berlalu, libur semester telah berakhir, kini saatnya masuk sekolah seperti biasa. Arini berangkat sekolah seperti biasanya, bedanya kali ini ia sudah naik ke kelas dua belas.

Perang dinginnya dengan Fisya dan Shaka belum berakhir, entah sampai kapan Arini akan mengakhirinya dan mencoba berdamai dengan takdir. Bagas pun semakin menjauh dari Shaka dan Fisya, ia tak kalah merasa kecewa pada kedua sahabatnya tersebut. Perasaan Arini pada Shaka tak bisa ia hilangkan begitu saja, masih, masih ada dan masih hidup dalam relung hatinya yang paling dalam.

Rasa sayang dan luka yang tergores di hatinya seolah berpadu dan semakin menenggelamkannya. Berkali-kali ia merasa putus asa, bagaimana cara menghilangkan Shaka dari dalam hatinya? Sedangkan setiap hari mereka bertemu, dan lebih parahnya lagi Shaka tak segan menunjukkan pada semua orang bahwa kini ia berpacaran dengan Fisya.

Seperti pagi ini, mereka berdua berboncengan mendahului Arini yang berjalan kaki menuju sekolah. Arini melihatnya dengan mata berkaca-kaca, dada memburu, dan mulut komat-kamit mengumpat mereka berdua. Diremasnya ponsel yang ia pegang sejak tadi untuk melampiaskan kekesalannya, hatinya kian membara.

Tapi tunggu?
Mengapa Arini harus kesal?
Harusnya ia senang telah mengetahui bagaimana sifat Shaka yang gampang mendua itu.
Ah, entahlah. Mungkin Arini terlalu cinta.
Cinta, makanan khas daerah mana itu?

Ia terus berjalan menuju sekolah sambil menenangkan hatinya. Mendengarkan musik sepertinya asyik, pikirnya. Ia memasang headphone dan memutar lagu favoritnya.

Saat ia sampai di persimpangan dekat sekolahnya ia melihat seorang pemuda memakai seragam yang sama dengan yang ia pakai sedang tertatih-tatih menuntun sepedanya. Arini menghampirinya. Pemuda itu tampak pucat, bibirnya kering, dan matanya sayu.

Arini melepas headphonenya.
"Kamu enggak apa-apa?" Kedatangan Arini ternyata membuat pemuda itu terkejut dan malah membentak Arini.

"Jangan mendekat!" Sergahnya.

Arini mundur satu langkah, "Kamu pucat sekali, sakit? Biar saya bantu..." Arini menawarkan diri membantu membawakan sepedanya.

"Tidak perlu, kamu pergi saja. Saya bisa sendiri!" Pemuda itu menolak.

Arini mengambil botol biru berisi teh hangat dari dalam tasnya, ia selalu membawanya setiap hari.
"Nih, buat kamu. Kalau kamu sakit mending pulang aja, enggak usah berangkat sekolah." Arini menyodorkan botol itu.

Pemuda itu bergeming menatapnya, tak ada reaksi apa pun.

"Ambillah, saya bukan orang jahat." Arini memasukkan botolnya dalam tas si pemuda, entah mengapa pemuda itu tak menolak. Ia masih menatap Arini dengan saksama.

"Saya duluan ya." Ucap Arini, kemudian ia berlalu meninggalkan pemuda itu.

Si pemuda melihat punggung gadis yang memberinya sebotol teh hangat itu semakin menjauh. Dalam hati ia merasa bersalah telah menolak bantuan gadis itu, gadis yang telah lama ia kagumi, gadis manis berambut panjang dengan kulit putih bersih, pintar, loyal, dan baik hati.

Sewindu TanpamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang