15. Senja

42 2 0
                                        

"Berawal dari jingga dalam senja, aku menyukaimu tanpa sengaja."
-Bara-

Bara menengok dua orang yang sedang mengetuk pintu pagarnya sore itu, tak lain adalah Shaka dan... gadis yang ia kagumi sejak ia masuk SMA. Gadis yang selalu ia banggakan di hadapan sang Mama. Ah, mengapa ia harus bersama sepupunya sendiri? Tak elok rasanya jika sesama saudara saling berebut seorang gadis.

"Arini..." bisiknya lirih.

Ia tetap mengamati mereka berdua dari balik jendela kamarnya di lantai dua, dalam hangatnya senja ia bisa merasakan damai dalam hatinya, apalagi saat memandangi wajah gadis pujaan hati. Walaupun tak bisa memiliki, mengagumi pun tak apa. Pikirnya.

Mbak Asih asisten rumah tangga keluarganya membuka pintu gerbang dan mempersilakan mereka berdua masuk. Mereka mengantarkan kue dari Diana, Mama Shaka. Tantenya itu memang pandai memasak, termasuk membuat kue dan dessert lainnya.

"Andai saja kamu tahu Arini." Bara merebahkan tubuhnya di tempat tidur sambil memejamkan mata.
"Astaga..."
"Siapa aku? Beraninya menyukai gadis seperti Arini."
"Baik, cantik, cerdas, primadona sekolah dan diidolakan banyak siswa."
Ucapnya pada dirinya sendiri.

Entah sejak kapan ia mengagumi gadis itu, yang jelas senja sore ini membuat rasa kagum itu berubah menjadi rasa suka yang entah bisa diutarakan atau tidak. "Berawal dari jingga dalam senja, aku menyukaimu tanpa sengaja." Bisiknya lirih.

"Baraaaaaaa!!!!" Teriakan Dahlia yang ketiga kalinya sukses membuat angan-angannya ambyar seketika.

Bara terkesiap, terkejut dengan teriakan sang Mama.
"Iya Maaa! Sebentar!" Sahutnya dari teras depan.
"Mama nih, ganggu orang lagi berangan-angan." Gerutunya sambil berjalan masuk mencari-cari keberadaan sang Mama.

"Apaan sih Ma?" Tanyanya sewaktu sampai di ruang tengah, tempat di mana mainan Cacha tumpah ruah dan Mamanya juga turut memainkannya bersama cucu kesayangannya itu.

"Ternyata kerudung Mbakmu yang dari tokonya Arini bagus-bagus, Mama jadi pengen. Besok sore antar Mama ke sana ya." Pinta Dahlia pada putra bungsunya itu.

"Ya Allah Ma, kirain ada apa sampai teriak-teriak gitu." Bara menepuk dahinya.

"Mama udah panggil kamu dua kali tetap enggak dengar, ya udah Mama keluarkan jurus toak masjid Mama yang menggelegar. Hahaha!" Tawa Dahlia.
"Mau ya Bar, besok sore kita ke sana. Mama pengen ketemu calon mantu."

"Mama nih apaan sih, calon mantu calon mantu."

"Arini kan calon mantu Mama."

"Bara masih kuliah Ma."

"Kurang satu semester lagi, kalian wisuda, kerja trus nikah, punya anak, waaahhh keluarga bahagia." Seru Dahlia.

"Aamiin." Tanpa sadar Bara mengucapkannya.

"Alhamdulillah, nah gitu dong. Semangat mengejar cinta Arini." Dahlia menyemangati Bara yang terduduk lesu di sofa.

Bara belum tersadar apa yang baru saja ia ucapkan, mengaamiinkan ucapan sang Mama tentang masa depannya bersama Arini.

🌹🌹🌹🌹

Arini melajukan mobilnya perlahan dalam hangatnya senja yang menerpa dari ufuk barat. Ia melirik arloji, pukul 15.55. Ia masih memikirkan ucapan Bara tadi, inilah yang ia takutkan. Sebuah rasa yang bisa mengubah dan menghancurkan persahabatan yang telah mereka bangun selama ini.

"Aku tahu..."
"Tapi mengapa harus kamu?"
Bisiknya lirih.

Arini membelokkan mobilnya masuk halaman rumah. Ia terkejut karena mobil ayahnya ada di halaman, mungkinkah ayahnya sudah pulang dari dinas di luar Jawa. Buru-buru ia turun dari mobil dan berlari masuk rumah berharap bahwa ayahnya sudah pulang. Walaupun sudah berusia 22 tahun tapi Arini hanyalah anak yang selalu merindukan kehadiran sosok sang ayah untuk menemani hari-harinya.

Sewindu TanpamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang