The Child Prodigy (2)

538 48 41
                                    

Terbaring lemah diatas ranjang, ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan rintihan kesakitan yang akan keluar, tidak ingin langsung membangunkan kedua teman sekamarnya. Sendirinya juga baru terbangun beberapa menit yang lalu. Lengan kirinya masih terasa sangat sakit, bahkan ia tidak berani menggerakkan tungkai atasnya itu. Tiga hari ia berada ditempat tersebut, dirinya tentu masih menyesuaikan perubahan lingkungan hidup, beradaptasi. Belajar menerima jalan yang telah ditentukan oleh garis takdir. Walau didalam nurani, terus memohon pada Tuhan agar segera mengeluarkannya dari tempat itu. Ia tak mau berlama - lama disana, ia ingin bebas.

Netranya menangkap cap yang sama di lengan kiri bagian atas milik kedua anak tadi. Mereka tidur dengan posisi terduduk dilantai, kepala terbaring diatas sisi ranjang. Wadah berisi air hangat dan handuk kecil, berada tak jauh dari jangkauan. Ingatannya memutar kembali percakapan yang tak sengaja ia dengar kemarin, keduanya memohon pada sang Mama agar memberikan cap miliknya saat ia sedang tertidur. Tak heran, karena rasanya sungguh mengerikan, seperti dibakar diatas kobaran api. Ia masih bisa mengingat bagaimana dirinya menjerit histeris saat besi panas itu ditempelkan pada kulitnya, memberikan logo permanen yang tak akan pernah hilang. Sakit, sangat sakit sampai ia kehilangan kesadaran, dan saat terbangun, ia sudah kembali berbaring di kamar.

Mencoba melawan rasa sakit tersebut, ia mendudukkan dirinya perlahan, lalu mengguncang bahu milik si surai mahogani dengan lembut. Ia masih ingat pesan sang Mama sebelum melakukan proses pemberian cap, pemuda itu menginstruksikannya untuk segera membersihkan diri setelah beristirahat. Dan ia tidak mungkin melakukannya sendirian, dengan keadaan seperti ini. Yang lebih tua perlahan membuka mata, mengerjap pelan saat melihat dirinya sudah dalam posisi duduk. Memaksakan sebuah senyuman, ia hanya diam saat anak lelaki itu berdiri dengan cepat dan meraih sebuah pil obat serta segelas air diatas meja nakas. Tentu, setelah memeriksa temperatur tubuhnya dan memungut handuk yang dipakai untuk mengompres dahinya.

"Apa masih sakit? Kau tertidur cukup lama, bahkan terserang demam kemarin", ia mengerjap bingung mendengar perkataan lawan bicaranya itu.

"Kemarin? Apa aku tertidur seharian, niisan?", anggukan pelan diberikan sebagai jawaban.

"Tidak apa, kau memang butuh istirahat, Mama sendiri yang mengatakan agar kami tidak membangunkan mu. Maaf karena kami tidak bisa membantu mu, ini juga dilakukan karena para sponsor yang menginginkan branding, dan Mama sendiri tidak bisa menolak", tersenyum kecil, si surai mahogani menyodorkan kedua benda ditangannya. "Ini pil pereda nyeri, apa kau bisa menelannya?"

"Tidak...", ia menggeleng pelan, memang sebelumnya tidak pernah menelan obat berbentuk pil.

"Ah... Aku akan meminta pada Sakaki sensei untuk menghancurkan obat ini menjadi bubuk, agar lebih mudah di minum", anak lelaki tersebut pun mengguncang temannya yang masih tertidur pulas. Sedikit kesal karena anak lelaki berwajah bulat itu sangat sulit dibangunkan. "Mikeneko! Bangun!"

Mengerang malas, si pemilik julukan merengut dan memaksakan diri untuk membuka kelopak matanya yang terasa berat. "Apa?! Kenapa kau suka sekali mengganggu tidur ku?!"

"Aho! Koneko-chan sudah bangun!", melihat temannya itu mengerjap beberapa kali dengan wajah menyiratkan kebingungan, si surai mahogani hanya bisa menghela nafas berat. Entah bagaimana caranya mereka berdua bisa akur selama hampir dua tahun ini. "Bantu dia bersiap - siap, aku akan memanggil Sakaki sensei kesini"

"Oh? Ah! Ya, ya, ya. Kenapa tidak bilang dari tadi? Sana pergi, cepat!", setelah mengusir teman sekamarnya tadi, ia menepuk kedua pipi bulatnya untuk menghilangkan kantuk. Atensinya kemudian beralih pada anak paling muda disana. "Koneko-chan, gege akan siapkan air hangat dan handuk basuh. Duduk saja disini, ya? Jangan terlalu banyak bergerak"

Yang dipanggil hanya bisa mengangguk pelan, sedikit merasa bersalah karena mengganggu tidur kedua anak tadi. Ia hanya menurut saat yang lebih tua membantu membasuh tubuhnya dan memakaikan pakaian untuknya. Jujur, ia belum terbiasa mengenakan piyama dengan warna - warna pastel yang lembut, serta dihiasi menggunakan pita dan renda yang manis. Ini pakaian anak perempuan, itu pikirnya. Namun, ia tidak bisa membantah karena lemari pakaian dikamar mereka memang dipenuhi dengan model pakaian seperti itu. Terkadang ia berpikir, apa orang yang menjadi sponsor mereka ini mengidap gangguan jiwa? Namun, ia segera menepis pemikirannya itu ketika si surai mahogani memasuki kamar bersama seorang pria dewasa. Penampilannya tidak seperti dokter, justru lebih terlihat santai, terkesan seperti seseorang yang menghabiskan lebih banyak waktu kerjanya dirumah.

Side Story of Hide and Seek SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang