Bab 13

23 4 0
                                    

Amri bangun dari tidurnya. Tadi malam ia tidur di sofa di ruang kerja. Amri merubah posisinya menjadi duduk. Matanya melirik jam dinding yang tergantung di dinding. Sudah pukul 7 pagi lewat 15 menit. Setelah sholat subuh di Masjid, Amri langsung kembali tidur. Ia juga belum mengecek keadaan Qolby.

Amri keluar dari ruang kerja menuju kamar utama. Amri membuka pintu secara perlahan. Takut membangunkan Qolby. Dilihatnya Qolby yang berbaring memunggunginya dengan selimut tebal menutupi tubuhnya. Perlahan Amri mendekat. Ada sesuatu yang aneh menurutnya.

Amri membuka selimut tebal. Amri membulatkan matanya saat melihat Qolby menggigil.

"Di-dingin Amri. Sa-saya butuh selimutnya" Qolby mengusap kedua lengannya sendiri.

Amri menempelkan tangannya di dahi Qolby. Panas. Amri melihat lekat wajah Qolby. Wanita-nya saat ini sakit. Wajahnya sangat pucat dan bibir yang kering.

"Kamus sakit? Kenapa enggak bilang sama saya?" Amri berlari keluar kamar dan kembali membawa baskom berisi air hangat dan handuk kecil.

Wajah Amri sangat khawatir bahkan saat ini ia buru-buru memasukkan handuk kecil ke air hangat. Lalu di letakkan di dahi Qolby. Selimut tebal kembali menutupi tubuh Qolby sampai ke leher.

"Kita ke rumah sakit yah" Ucap Amri khawatir.

Qolby menggeleng lemah. "Enggak usah Amri. Saya istirahat di rumah aja. Nanti sembuh juga" Amri mengusap lembut puncak kepala Qolby. Sesekali mengecup lembut.

Qolby terpana dengan sikap manis dan perhatian Amri. Padahal tadi malam, Amri sangat dingin dan pendiam kepadanya. Senyum kecil mengembang.

"Yaudah. Saya beli obat dulu yah. Kamu istirahat lagi. Saya juga mau minta izin Ustadz Mustafa kalau kamu enggak bisa kerja"

Amri merogoh sakunya. Mengambil handphone dan menghubungi Ustadz Mustafa. Amri keluar kamar sebentar. Alhamdulillah Ustadz Mustafa mengizinkan nya.

Amri kembali masuk ke kamar, mengambil jaket dari dalam lemari. "Saya enggak lama. Kamu istirahat yah. Tidur aja lagi" Pamit Amri dan mengecup lembut punggung tangan Qolby.

Qolby merasa seperti seorang tuan putri yang istimewa. Sangat di perlakukan istimewa oleh sang pangeran.

30 menit kemudian, Amri pulang dengan membawa satu kantong plastik berisi obat-obatan. Ada yang bentuk pil dan sirup. Amri meletakkan plastik di atas nakas. Qolby tertidur pulas. Wajahnya masih pucat. Amri tidak ingin membangunkan dan memutuskan masak sarapan untuk dirinya dan Qolby.

Amri berkutat di dapur dengan alat-alat dapur dan bahan-bahan masakan. Hampir 30 menit akhirnya sarapan selesai. Amri memasak bubur ayam dan susu coklat untuk Qolby. Untuk dirinya sendiri, nasi putih dengan lauk ayam goreng dan air putih hangat.

Amri masuk kedalam kamar membawa nampan lalu meletakkan di atas nakas. Amri mengguncangkan bahu Qolby pelan. Untung saja Qolby bangun dengan cepat. Wajah khawatir Amri masih tercetak jelas. Qolby merasa tidak enak membuat Amri khawatir.

Amri membantu Qolby untuk duduk bersandar di kepala ranjang. "Makasih Amri" Ucap Qolby tulus.

Amri mengangguk singkat. "Kamu enggak perlu terimakasih sama saya. Ini udah menjadi tugas saya merawat kamu sakit. Lain kali kamu kasih tahu saya. Saya khawatir" Amri menatap lekat wajah Qolby begitu juga dengan Qolby.

Mereka bertatapan untuk beberapa saat. Amri tersenyum manis begitu juga dengan Qolby. Pipi Qolby merona merah. Merasa malu ditatap sangat dalam oleh Amri. Tatapan Amri itu dalam dan penuh arti.

"Dimakan dulu buburnya. Aaaa..."

Qolby menerima suapan sesendok bubur. Mengunyah perlahan walaupun rasanya hambar. Ingin rasanya mengeluh tapi Qolby tidak melakukannya. Ia harus menghargai perjuangan Amri yang memasak.

Istikharah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang