XIII

29 6 0
                                    

Matahari sudah hampir tenggelam namun Zidny tetap setia menunggu Felisya di teras rumah. Ia tak henti-hentinya melihat layar Handphone yang bertuliskan Kontak Felisya disana.
Sesekali matanya menatap awas kesekitar rumah Felisya. Memperhatikan tatanan rumahnya yang begitu tertata rapih tak seperti rumahnya yang tak terawat.

"Gua pernah kesini pas kecil, gua yakin."
Zidny bermonolog guna menetralisir rasa gugupnya karena diperhatikan oleh tetangga Felisya yang berlalu lalang.

Zidny berdehem seraya membuka Handphone nya kembali. Menuliskan beberapa angka disana, hingga layar menyala dan menampilkan kontak Felisya lagi.

Di tempat lain, Felisya dan Talisya mengebut diperjalanan menuju komplek. Mereka hanya perlu sedikit waktu jika lebih cepat, jadi mereka memutuskan untuk mengendarai motor dengan kecepatan yang tak biasa.

"Ayo Lis, kasian Zidny."

Sepanjang perjalanan, Felisya selalu tak karuan, gelisah akan rumahnya yang lupa ia kunci. Untungnya, Zidny mengunjungi rumah Felisya sebelum ia berangkat.

Saat sampai dipertigaan, Felisya langsung turun dari motor dengan segera tanpa melepas helm. Talisya pun tak ada niat memperingatkan, ia menertawakan Felisya diatas motor birunya.

Ia berlari begitu cepat dengan helm dikepalanya. Tampaknya, ia masih belum sadar akan itu.

"Zid," Panggil Felisya ketika sudah sampai tepat di depan pagar rumahnya. Mukanya yang begitu kusut terlihat oleh Zidny walau tertutup kaca helm.

Zidny sedikit tersenyum, kemudian ia menghampiri Felisya yang masih mengatur nafasnya dengan teratur.

"Pake helm Tapi gak ada motor."

Ia memegang helm yang dipakai Felisya, membuka kaitannya lalu melepaskannya dari kepala Felisya secara hati-hati. Felisya termangu, ia menatap Zidny yang sedikit lebih tinggi daripada dirinya dengan pandangan yang sulit diartikan.

Dengan nafas yang belum teratur sepenuhnya, Felisya harus kembali mengatur degub jantungnya yang berdetak terlalu cepat tak seperti biasanya.

"Ma-makasih."

"Gua pulang. Selamat istirahat," Ucap Zidny kemudina menyerahkan helm itu padanya. Ia melambaikan tangannya kearah Felisya dengan senyum mengembang yang terpampang diwajahnya yang sedikit pucat.

Felisya membalasnya dengan senyum tipis. Ia salah berfikiran bahwa Zidny itu menyebalkan. Nyatanya, Zidny masih mempunyai rasa empati serta kepedulian yang tinggi terhadap orang lain. Hal itu membuat Felisya merasa bersalah. Ia pun masuk kedalam rumahnya dengan perasaan campur aduk. Terlalu banyak fikiran membuatnya lupa akan rasa malu karena berlari memakai helm.

   .✧✧✧.

Seluruh meja sudah rapih tanpa sampah ataupun cangkir yang tersisa. Setiap sudut Kafe pun sudah Fathan bersihkan hingga terlihat lebih menarik. Hari ini merupakan hari ke-15 ia bekerja paruh waktu di Kafe Fla dan tak terasa kini satu bulan tersisa.

Malam ini, ia harus kembali menginap di ruangan tak terpakai yang ada didalam kafe. Sebenarnya, ia masih bingung untuk mencari tempat tinggal dimana karena ia merasa menjadi pendatang baru di kota ini.

Dulu, dirinya sempat pindah ke Bogor agar dekat dengan neneknya. Namun, saat kuliah ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta untuk berkuliah di salah satu universitas swasta disana. Rumahnya yang di Jakarta pun sudah terjual dan dimiliki oleh orang lain.

Seluruh pegawai kafe dan bosnya sudah pergi meninggalkan kafe menuju rumahnya. Sisa dirinya seorang diri di dalam kafe. Sebelumnya, ia sudah meminta izin pada pemilik kafe yang kebetulan saudaranya untuk menginap di kafe saja agar cepat dan juga dekat dari kampusnya. Dia hanya perlu menaiki Kopaja untuk sampai dikampusnya dan itu tak akan lama. Kecuali, jika Kopaja itu harus menge-tem karena tak ramai penumpang.

Fathan kini membaringkan tubuhnya pada kasur keras yang disediakan disini. Ia bersyukur karena saudaranya menerima dia untuk tinggal di kafe.
Handphonenya selalu menyala walau ia tak memainkan nya. Memang, handphone nya tidak pernah dalam mode tidur karena tombol on-off nya sudah rusak dan Fathan belum mampu untuk membuat Handphone nya benar kembali.

Ia menutup matanya guna merilekskan tubuh nya yang lelah seharian ini karena sibuk belajar dan bekerja di hari yang sama. Kadang, ia tidak mengikuti kelas karena begitu ramainya pengunjung kafe yang datang. Sebenarnya ia merasa bersalah atas beasiswa yang ia dapatkan dari Universitas swasta tersebut namun bagaimanapun juga ia tak punya uang untuk membayar setengah dari SPP-nya.

Kedua orangtuanya sudah meninggal sejak ia masih SMP karena Mereka terlibat dalam sebuah kecelakaan pesawat ketika mereka hendak pergi ke Kalimantan untuk pekerjaan. Fathan selalu menangis saat itu, air mata yang selalu ia tahan untuk turun akhirnya turun dengan derasnya tanpa tahu malu. Akhirnya, Fathan terpaksa tinggal sendirian di rumah besar miliknya. Lalu, paman menelponnya untuk tinggal bersama Neneknya saja di Bogor dan menjual rumah yang saat itu ia tinggali, kemudian seluruh keluarganya menyetujuinya.

Meski begitu, Fathan tetap bersyukur karena ia masih mempunyai keluarga walaupun tak lengkap. Matanya kembali mengerjap, mengambil handphonenya dan mengecek notifikasi WhatsApp disana. Ternyata, banyak pesan yang dikirimkan kepadanya namun ia lupa memeriksa nya.


"Besok ada kelas pak Deni? Aduh gawat!"

_________

Ada yang rindu Fathan?
Untuk Fathan,aku cuma mau ceritain dia sedikit disitu, aku kurang tau ntar bakal ceritain lebih banyak atau enggak nya ehehe

Jangan lupa, kritik dan saran ya!
Vote dan Comment kalau kalian suka part ini!

Untuk yang lagi PAS semangat ya!! Untuk kakak² yang kerja juga semangat!! Maaf lama update, semoga gak lupa sama alur ya, kalau lupa bisa dibaca ulang Terimakasih 💗✨

//Saling Follow bisa DM/Wall ya! Thank U ( ◜‿◝ )♡//

Dream [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang