XVIII

9 4 2
                                    

Tak sia-sia Felisya menunggu jemputan papanya sendirian diparkiran karena papa benar-benar datang menyempatkan waktu untuk menjemput nya kali ini. Mimik wajahnya tak bisa bohong, ia sangat senang. Felisya menghampiri mobil berwarna silver itu dengan langkah cepat, membuka pintunya tak sabar. Ia duduk dibangku depan, sebelah papanya yang siap untuk berkendara mengantarnya untuk pulang.

"Kita ke Restoran Jepang dulu ya?" Ajak Papa pada Felisya yang sedang melamun menghadap Jendela mobil memperhatikan rumah-rumah sekitar komplek dekat sekolahnya yang biasa ia lewati. Felisya mengangguk kecil sebagai jawaban.

Mobil silver milik Rey melaju keluar dari komplek, membawanya ke Jalan Raya.
Disana, sangat banyak kendaraan yang membuat sedikit kemacetan. Tangan Felisya bergerak pada Dashboard mobil, mengambil permen Mint yang sengaja ia simpan agar tidak bosan dikala macet jika dalam perjalanan.

Mereka sudah sampai pada Restauran yang Papa sarankan. Jari Felisya mengait dengan Jari Rey sambil berjalan beriringan menuju tempat duduk yang sudah mereka pesan.

Rey menyuruhnya duduk dan memesan makanan pada menu yang sudah disiapkan. Felisya dengan senang memesan makanan Jepang Favoritnya yaitu Shushi. Saat pesanan sudah datang, mereka melahapnya dalam keheningan. Tak ada satupun yang mengeluarkan suara. Hanya suara sendok yang dihasilkan dari gigitan Rey yang sedang menyantap makanan yang ia pesan.

Rey menatap dalam-dalam Felisya. Mata yang ia lihat sama seperti mata yang ia punya. Felisya sangat mirip dengannya namun dengan kelamin yang berbeda. Tanpa sadar, dirinya tersenyum membuat Felisya yang tadinya fokus memakan Sushi menjadi tersedak yang membuat Rey segera mengambilkan minum air putih dan langsung Felisya minum dengan masih terbatuk-batuk.

"Papa kok liatin aku gitu banget?" tanya Felisya ketika sudah selesai meminum air digelas yang Rey berikan tadi.

"Kamu kok mirip ya sama papa?"

"Ya kan aku anak Papa." Felisya menjawab dengan nada sedikit sebal membuat Rey tertawa sekali lagi. Ia kembali memakan makanannya dengan lahap tanpa peduli Rey masih menertawakan nya.

"Oh iya, papa dapat beberapa brosur tentang universitas yang mempunyai jurusan bisnis dan semuanya bagus."

Wajah Felisya langsung terangkat menatap Rey. Ia kemudian memperhatikan Brosur-brosur yang Rey ulurkan padanya. Ia membaca sekilas, tampak tak tertarik. Kini, bagian Rey yang fokus makan sedangkan Felisya hanya menatap kosong Brosur itu tanpa minat sama sekali. Matanya ia tahan untuk tidak mengeluarkan air mata dan mulutnya ia tahan sekuat tenaga agar tak membuka suara.

"Pa, kenapa harus aku yang ngelanjutin bisnis papa?"

Gagal, Felisya tak kuasa untuk menahan mulutnya untuk tak bersuara.

"Karena kalau bukan kamu ya siapa lagi?" Rey balik bertanya pada Felisya dengan santainya.

"Kenapa gak June? Dia cowok, dia pinter ngomong, dia terkenal." Felisya menarik nafas dalam-dalam, "kenapa harus aku?" Lanjutnya.

"Karena June punya bakat dibidang Modelling, dan kamu juga tahu kalau nilai Matematika juga Ekonomi kamu lebih baik dari June kan?"

"Apa papa gatau kalau aku juga punya bakat yang gapernah papa dukung bahkan papa peduliin?" Suaranya memelan, perlahan pandangannya tampak kabur akibat air mata yang menumpuk di kedua bola matanya. Ia tak ingin membuat air matanya jatuh sia-sia begitu saja. Sudah cukup lelah akhir-akhir ini akibat terlalu banyak menangis.

Dream [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang