Sabtu, 10 Agustus 09.45
Berada di bawah kanopi hijau pepohonan berdaun lebat, Alex memuntahkan semua fakta yang ia ketahui tentang rahasia alam padaku. “Aku akan membicarakan masalah tips bertahan hidup di alam liar.”
“Ugh, kutu buku dan kecerewetannya,” desisku pelan. Well, rupanya nggak cukup pelan, karena bukan diriku saja yang mendengarnya. Alex pun juga. Alih-alih tersinggung, ia justru menanggapi cemoohanku dengan seringai gugup yang dipenuhi humor.
“Jadi, kau pernah mendengar sebuah celetukan; berpura-puralah menjadi orang mati ketika kau bertemu beruang di tengah hutan,” Alex memalingkan wajahnya padaku, “itu MITOS. FAKTA-nya, berpura-pura mati terkadang nggak selalu efektif ketika kau diserang beruang.”
Aku merotasikan kedua bola mataku, sama sekali nggak memercayai apa saja yang baru kudengarkan. Alam liar? Tips bertahan hidup? Beruang? Semua itu sama sekali bukan jenis topik pembicaraan yang pantas didengarkan olehku. Aku bukan orang Indian bar-bar, atau tetangga Tarzan yang memiliki kewajiban untuk mengetahui fakta-fakta nggak penting seperti itu.
Berada di California, tangan kananku—Bex—yang sangat setia seperti anjing dengan majikannya, selalu membahas gosip dan mengingatkan kalender sosialku yang nggak pernah memiliki tanggal merah. Seperti berpesta, belanja, kencan, spa, berpesta lagi, belanja lagi, dan seterusnya. Itulah yang semestinya menjadi topik utama pembicaraan bagi gadis sosialita sepertiku.
“Bila beruang cokelat atau grizzly yang menyerangmu, maka tengkuraplah dengan kedua tanganmu yang berpegangan sambil menekan tengkuk,” sambung Alex, yang masih setia menjadi pemandu jalan. Dalam posisi bersisian, kami menyusuri lebatnya hutan—diiringi suara remuk dedaunan kering yang kami injak setiap detiknya.
Meski kedua manik mataku nggak pernah letih menyisir setiap jengkal hutan yang kulalui—demi menemukan jejak Cassio dan Margot—sudut mataku nggak luput menangkap gelagat aneh Alex. Sedetik silam aku nggak menyadarinya, namun sedetik kemudian aku tahu apa yang sebenarnya dipikirkan cowok ini.
Seluruh isi otakku secara otomatis telah diprogram untuk memikirkan Cassio, sampai aku lupa diri untuk berganti pakaian. Pakaian yang sudah kukenakan sejak kemarin malam, sebagai pengganti piyama sutraku. Apalagi? jika bukan kaus abu-abu polos dengan ukuran jumbo favoritku. Jenis kaus seperti ini, akan membuat gadis manapun merasa bahwa mereka tampak jauh lebih seksi tanpa perlu banyak berusaha. Kau akan mengerti, karena kaus ini berkerah rendah—dan apabila kau adalah tipikal gadis dengan ukuran dada yang menganggumkan ....
Intinya, sesuatu yang membungkus tubuhku sekarang, lebih dari cukup untuk membuat belahan dada dan tali bra merah muda menyembul dari ujung kerah kausku. Alex, bocah ingusan berusia 15 tahun di sampingku menatapnya lurus-lurus. Aku bisa melihat itu tanpa harus menoleh ke arahnya.
“Beda cerita jika yang menyerangmu adalah beruang hitam,” ujarnya dengan lidah yang kaku, “kau harus berlari secepat mungkin atau menyerang balik dengan cara yang memungkinkan.”
Semenjak kami berada di tengah hutan yang teramat sunyi, aku dapat mendengar suara debaran jantung dan tegukan saliva milik Alex. Rupanya ia masih belum puas melirik tubuhku diam-diam.
Alex kembali menyambungkan informasi yang cukup mengedukasi tentang beruang. “Sebenarnya, semprotan merica khusus beruang adalah ide yang bagus. Untuk pertahanan diri.”
“Jauh lebih bagus lagi jika semprotan merica itu kusemprotkan ke mata keranjangmu, bocah mesum,” selorohku dengan intonasi tajam tanpa lupa menambahkan senyum sarkas. Kesabaran sudah nggak memiliki tempat kosong dalam mentalku.
KAMU SEDANG MEMBACA
10 Days To Make Cassio Kisses Me [END]
Novela JuvenilSemua gadis ingin rasanya bertukar badan dengan Skye Maxwell. Semua lelaki ingin rasanya mendapatkan kesempatan berkencan dengan Skye Maxwell. Memang siapa yang tidak ingin? Seorang gadis yang dianugerahi kecantikan, kepopuleran, dan kekayaan nomor...