Crying For A Thousand Years

327 71 17
                                    

          Ingatanku nyaris nggak bisa meraih kenangan, kapan terakhir kalinya aku menangis. Aku terlalu mati rasa untuk menangisi film romantis yang salah satu tokoh utamanya meninggal dunia karena memiliki kanker, dan aku terlalu kaya raya—sehingga aku nggak perlu memotong bawang di dapur sampai meneteskan air mata.

          Bahkan aku nggak menangis di hari kematian Mom, mengingat bahwa ia hanya sekedar wanita yang berpura-pura menjadi orang tuaku sendiri. Maksudku, bagaimana bisa aku menyayanginya—apabila uang dan pekerjaan adalah oksigennya semasa ia hidup?

         Selain itu, aku tahu Dad adalah orang tua yang payah. Alih-alih membaca buku panduan Menjadi Orang Tua yang Baik ketika aku masih di dalam kandungan, ia dan Mom justru sibuk memikirkan saham manakah yang harus dibeli. Meski demikian, Dad untuk pertama kalinya menunjukan kepedulian dan kekhawatiran—saat aku berbicara dengannya melalui ponsel dalam keadaan menangis.

         Dad spontan menyadari sesuatu yang salah telah menimpaku, meski dengan terbata-bata aku hanya berkata bahwa aku lelah dan ingin pulang. Tanpa bertanya apa yang terjadi dengan Archibald berasudara, Dad memberiku akses perjalanan pulang menuju tempat asalku. California.



***



1 week later ...

         Hidupku sama sekali nggak membaik sepeserpun, meski ragaku telah kembali dimanjakan oleh fasilitas mewah di dalam rumah raksasa milik keluarga kecil Maxwell selama 24 jam penuh. Setiap aku berjalan, aku nggak sanggup menengadahkan kepala—menatap angkuh pada apapun yang kutemukan. Sebuah batu yang memiliki berat ribuan pound, membebani dadaku tanpa belas kasihan—membuat langkah kakiku bagaikan seseorang yang tersesat di tengah labirin kekacauan, dan berniat untuk menyerah selamanya.

         Bahkan Dad dan selusin pembantu yang bekerja untuk kami, menatapku prihatin dan awas—seolah-olah mereka khawatir aku bakal merobek nadiku dengan benda tajam kapanpun aku mau. Semua berkat kedua kelopak mataku yang selalu bengkak, dan nggak pernah mengempis karena aku selalu menangis.

         Sama sekali bukan Syke. Belasan tahun aku membuat orang-orang menangis karena keberengsekanku, dan kini aku menangis karena perbuatan orang-orang padaku.

         Aku menangis karena aku merindukan Cassio, namun juga membencinya pada saat yang bersamaan. Aku tahu, aku tahu sangat bodoh mengharapkan ia berada di sisiku, dan memelukku erat—sementara cowok itu nggak sudi membuang-buang waktu untuk memikirkanku.

        Aku menangis karena aku menyayangkan Archibald bersaudara, yang menghancurkan harga diriku dengan mempercayai bualan gadis kadal berinisial M tersebut.

        Aku menangis karena memikirkan tangan kotor Kyle, yang pernah menyentuh tubuhku secara paksa di tempat-tempat yang nggak pantas, dan bagaimana dendam kesumatnya kini membuatku nggak pernah memiliki hari libur—dimana aku bisa terbebas dari ribuan hujatan yang menyakitiku.

         Aku menangis karena Bex nggak pernah merasa puas diri dalam melukaiku yang sudah cukup sekarat secara mental. Belum selesai ia merampas semua lampu sorotku, kini ia membeberkan pada dunia tentang kegagalanku dalam menuntaskan tantangan mendapatkan ciuman dari Cassio dalam 10 hari.

         Lelah sekali rasanya terbangun di tengah malam, untuk menangis di balik bantal—hanya karena mimpi buruk atas semua masalah menghantuiku dengan keji.

Ting Ting!

         Aku sudah memadamkan lampu, dan mensengajakan sinar rembulan yang temaram menembus tirai tipis yang mengelilingi kamar tidur kacaku—saat sebuah dering notifikasi membuatku menggulirkan kedua bola mata dan menghela napas malas. Nggak bisa dipungkiri, aku tahu itu adalah satu dari sejuta umat manusia yang mendobrak kotak pesanku di sosial media dengan caci maki.

10 Days To Make Cassio Kisses Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang