Day 1
5 Agustus, 07.20
Aku menemukan diriku terbangun, menguap, dan menatap langit-langit kamar yang hampir penuh oleh hiasan lingkar cokelat berjamur menjijikan—saat seseorang menyebut namaku berulang kali dari luar kamar tidur. Suara ketukan pintu berulang dan lemah dari ujung ruangan, membuatku menduga bahwa Macey dengan buku jari kecil nan gemuknya adalah pelaku di balik gangguan minor pagi ini.
“Skye? Skye? Apa kau sudah bangun?”
Yep, 100 persen suara itu hanya dimiliki oleh Macey yang mencintai boneka kuda poni lebih dari ia mencintai ibunya sendiri.
Mulanya aku lebih tertarik memeriksa jumlah pengikut baruku di Instagram, ketimbang menggubris panggilan Macey yang mirip radio rusak. Namun, gadis itu nggak menyerah selama 2 menit penuh yang terasa bagai seabad bagiku. Aku keherenan bagaimana bisa pita suaranya nggak putus.
Kuperhatikan jutaan debu mengambang di tengah tumpahan sinar mentari yang menerobos masuk dari jendela persegi panjang yang semalam sengaja kubuka lebar. Rumah ini payah karena nggak memiliki pendingin ruangan. Aku hampir mati kepanasan berkat suhu khas musim panas yang membuat seisi kediaman Keluarga Archibald tak ubahnya sauna.
“Skye—“
“Aku sudah bangun, Macey. Bisakah kau pergi, dan tinggalkan aku sendiri?” pintaku dengan nada memaksa. Aku khawatir gendang telingaku bakal pecah jika aksi Macey nggak segera dihentikan. Dasar anak kecil merepotkan.
“Um ... Cassie ingin agar kau segera turun. Dia telah membuatkan sarapan.”
Selama sepersekian detik, aku hampir melupakan fakta bahwa aku harus bertahan hidup di desa menyedihkan ini dalam jangka waktu yang nggak kutahu berapa lama. Omong-omong, sialan, ini hari Senin. Jika hukuman Dad nggak mengikatku seperti sekarang, seharusnya pada detik yang sama aku tengah meneguk minuman tropis di bar terbuka hotel bintang lima di Hawai, sembari menonton deburan ombak tanpa lupa ditemani oleh segudang rayuan laki-laki peselancar berkulit eksotis.
Sayang sekali, perutku memainkan instrumen musik yang membuat keinginan untuk melahap sesuatu muncul begitu saja. Setelah mengumpulkan nyawa sejenak, aku menggeram dan beranjak dari kasur malas-malasan.
Aku tahu hariku bakal berat ketika melihat Macey menggendong boneka kuda poninya di balik pintu. Ia memecahkan satu senyuman jelek yang memperlihatkan sederet gigi ompongnya. Well, alasan lain mengapa aku benci anak kecil.
Dengan tubuh bersandar pada bingkai pintu, aku berujar, “Aku akan turun.”
Macey mengangguk kegirangan, dan segera berlari menuruni tangga. Aku sedikit berharap anak itu bakal tersandung dan jatuh, sehingga aku setidaknya memiliki hiburan baru. Tapi yang kuharapkan nggak terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
10 Days To Make Cassio Kisses Me [END]
Roman pour AdolescentsSemua gadis ingin rasanya bertukar badan dengan Skye Maxwell. Semua lelaki ingin rasanya mendapatkan kesempatan berkencan dengan Skye Maxwell. Memang siapa yang tidak ingin? Seorang gadis yang dianugerahi kecantikan, kepopuleran, dan kekayaan nomor...