Day 7 : Well, I'm Screwed

242 56 1
                                    

Minggu, 11 Agustus 09.47


          Aku nggak pernah mengalami kengerian, melebihi kengerianku ketika menonton Evil Dead untuk pertama kalinya. Dan kuingatkan kembali, semua kengerian yang meletup-letup dalam dadaku berasal dari sesosok pemuda yang telah memergoki semua kebusukanku.

        Kedua manik matanya nggak pernah segelap dan semenakutkan itu ketika mengamatiku yang sedang berlutut di depan meja kerja Bibi Madie. Aku berjuang untuk berdiri, namun lututku terlalu lemas untuk menopang seluruh berat badanku. Begitu cowok itu mulai membuka bibirnya, aku nggak tahu terjebak di saluran pernapasan manakah oksigen yang baru kuhirup.

        "Jawab aku, Skye. Kau ... kau menjadikan kakakku sebagai bahan taruhan untuk menjaga popularitasmu? Dengan berusaha mendapatkan ciumannya? Maksudku, apa-apaan semua itu?"

         Kepanikanku melejit ketika mendengar intonasi suara Alex yang kian meninggi.

        "Ssssttt! Alex, kau nggak sepantasnya ikut campur dalam privasiku," bisikku tegang. Aku harus memikirkan segudang cara untuk membungkam segala hal mengerikan yang telah ia dengar.

        "Bahkan jika itu memiliki keterkaitan dengan abangku?"

         Alex benar. Aku nggak bisa menjawabnya untuk yang satu ini. Sepenuhnya aku telah terjebak dalam permainan bodohku sendiri. Sekarang aku mulai bertanya-tanya, akan seperti apa jadinya apabila aku nggak pernah menceritakan semua hal menyebalkan tentang Cassio pada Bex. Jawabannya mudah. Tantangan keparat ini nggak akan pernah lahir.

         Well done, Skye. Kau terlalu terlambat untuk menyesal.

         Kepulan udara tak kasat mata berhembus dari mulutku. "Lagipula kenapa kau ada dimana-mana, Alex? Aku sudah memastikan nggak ada yang melihatku memasuki ruang kerja ibumu."

          "Secara teknis kau hanya menoleh kanan dan kiri sebelum memasuki tempat ini, tapi kau nggak memeriksa ada siapa yang berdiri di belakang punggungmu." Alex mengatakannya dengan bangga. Dan jika aku benar, aku yakin tampang itu berasal dari kenyataan—bahwa cewek berusia 18 tahun baru saja kalah cerdas dari cowok di bawah umur, yang dirinya sendiri masih dipusingkan oleh masalah jerawat dan bau badan.

        "Mari kutekankan. Ibumu melarang siapapun untuk masuk kemari. Nggak seharusnya kau mengikutiku, karena itu melanggar peraturan." Salah satu alisku menukik tajam melihat Alex berusaha menahan gelak tawa.

        "Dan, MARI KUTEKANKAN. Kau juga tergolong dalam 'siapapun' disini. Kecuali kau kembarannya Casper, kau bebas menembus dinding ruang kerja ibuku kapanpun kau mau."

         Baiklah, ketakutan akan peristiwa dimana Alex sewaktu-waktu bakal membocorkan semua rahasiaku pada abangnya—membuatku kehabisan sel otak. Fokusku telah terbagi pada segala hal yang seharusnya nggak kupikirkan.

         Kugertakkan gigiku. "Cara bicaramu mulai terdengar seperti Cassio, sadarkah kau?"

          Alex mengedikkan bahu. "Well, pertama, aku adalah adik kandungnya. Wajar jika kau menganggap kami mirip—meski 90 persen kemiripan Cassio dimiliki Cassie. Kedua, 3 menit yang lalu aku baru saja tahu jika kau memanfaatkan cowok malang itu demi popularitasmu. Sekali lagi, wajar saja jika aku menjadi agak senewen—meski aku naksir berat padamu."

          Persetan dengan semuanya. Gelombang energi yang mengisi semua kekosongan dalam ragaku secara tiba-tiba, membuatku beranjak secepat kilat. Aku menyambar pergelangan tangan Alex, dan kubawa diri kami keluar dari ruangan pengap itu. Sepersekian detik setelah aku menutup pintu ruang kerja Bibi Madie, aku teringat bahwa aku meninggalkan jejak berupa sebungkus granola bar dan sekaleng diet coke di bawah meja komputernya. Sambil bersumpah serapah atas segala kebodohanku yang nggak berkesudahan, aku bersumpah akan mengambilnya kembali setelah aku membungkam mulut besar Alex.

10 Days To Make Cassio Kisses Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang