|Aku, Kamu dan Stetoskop|
______________Ada banyak cara untuk bisa kembali tersenyum. Walau memang, gak akan semudah yang kita bayangkan. Terluka, tapi harus bilang gak apa-apa itu memang hebat. Namun terkadang, semakin membohongi keadaan diri sendiri juga melelahkan bukan?
Setiap orang punya lukanya masing-masing, dan gak semua orang punya cara yang sama untuk menyembuhkan luka itu.
Jika mereka akan memilih tetap tersenyum saat luka itu semakin menganga, aku akan memilih untuk menangis, bukan karena aku lemah, tapi terkadang, jujur pada diri sendiri lebih melegakan di banding harus pura-pura baik-baik saja.
"Assalamu'alaikum! Paket!" teriakku dari balik pagar besi berwarna putih yang menjulang tinggi.
Aku terus berteriak semampuku, berharap penghuni rumah bak istana itu mendengar cuitanku.
Berulang kali aku memencet tombol yang terpasang dibagian kiri pagar, namun rasanya percuma. Rumah mewah itu seperti tak berpenghuni.
"Apa aku salah alamat ya?" gumamku sambil memperhatikan alamat yang terlampir di paket tersebut dan membandingkannya dengan nomor rumah yang terpampang di bagian atas tombol bel pintu pagar itu.
"Benar kok," cicitku lagi.
Tak lama setelahnya, setetes air bening jatuh dipunggung tangan kananku membuatku mengangkat wajah ke atas, nampak jelas bahwa langit semakin mendung. Awan hitam pekat bergerombol menutupi langit yang tadinya biru dan dalam hitungan detik air pembawa rahmat itu akhirnya jatuh juga.
Mataku melebar saat mendapati objek di lantai atas, sesosok laki-laki bertubuh jakung itu hanya menatapku datar, seakan tak peduli dengan badanku yang mulai basah kuyub akibat terguyur hujan.
Aku kembali berteriak, "Kak! Paket!" Namun ia masih tak bergeming.
Aku menyerah, lelah juga ternyata berteriak, belum lagi leherku rasanya pegal akibat terlalu lama melihat ke atas, kutundukkan wajahku sejenak lalu kembali menatap ke atas, sosok itu sudah tidak ada di sana. Dia bukan hantu di siang bolong kan?
Tak mau ambil pusing, aku akhirnya memutuskan untuk pergi saja dari pada harus mati konyol akibat kedinginan. Saat hendak berbalik, hujan yang membasahiku seketika berhenti membuatku refleks mengangkat kepala.
Payung cokelat mocca itu menghalangi hujan sehingga membuatku berhenti terguyur. Tubuhku berbalik kebelakang melihat sosok yang berbaik hati memayungiku.
"Kak Khalil?" Mata bulatku kembali terbelalak.
Dia tersenyum, hingga mata sipitnya membentuk garis, sejenak aku terdiam melihatnya sebab syok, namun akhirnya aku membuang muka saat mengingat luka itu lagi.
Ia menarik tangan kananku, memberikanku payung untuk dipegang. "Ini, jangan sampai sakit," katanya. Lalu berjalan menuju mobil yang terpakir tak jauh dari tempatku berdiri.
Dia masih sama seperti dulu, bahkan saat satupun kenangan tentangku tak ada di memorinya, sikap ramahnya tak berubah sama sekali.
Tuhan, kenapa Engkau datangkan dia lagi dalam hidupku?
_____________Start, selasa 12 desember 2020
Written by, Rainy El Isra
______Wellcome back gaisss
Lama tak berjumpa ya, xixi
Gimana prolognya? Semoga suka
See you next chapter 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu dan Stetoskop | 𝑬𝑵𝑫
Spiritual|sᴜᴅᴀʜ ᴅɪᴋᴏɴᴛʀᴀᴋ ᴘᴇɴᴇʀʙɪᴛ| ⚠️ k𝖺𝗅𝖺𝗎 𝗅𝗎𝗉𝖺 𝖼𝖾𝗋𝗂𝗍𝖺𝗇𝗒𝖺, 𝖻𝖺𝖼𝖺 𝗎𝗅𝖺𝗇𝗀 😎 __________ ℬ𝓁𝓊𝓇𝒷 "Kakak tahu gak kenapa aku sangat ingin jadi dokter?" Pikiran Khalil mengembara memilih jawaban yang pas. "Karena ingin menolong banya...