14 | Bunga Gerbera dan Lukanya

149 21 4
                                    

|Aku, Kamu dan Stetoskop|

Kebahagian tidak diukur dari banyaknya harta, melainkan dari hati yang selalu merasa cukup.

Kebahagian tidak diukur dari banyaknya harta, melainkan dari hati yang selalu merasa cukup

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ziya memandang lekat gaun putih yang menjulur indah. Sederhana, tapi mampu memberi kesan mewah.

Tangannya terangkat memegangi gaun tersebut. Pikirannya menerawang mengingat nasihat ibunya yang membuatnya sampai pada sebuah pertanyaan, apakah ini keputusan yang benar?

"Gimana? Suka, nggak?" tanya Jun membuatnya mengalihkan pandangan dari gaun itu.

"Kak."

"Hmm?"

"Kakak serius, kan?"

"Iya. Dua rius kalo perlu," balas Khalid mantap.

Ziya diam sejenak, lalu kembali berujar, "Tapi ..., aku mau minta beberapa permintaan dari kakak." Ia menatap dalam mata Khalid.

"Boleh. Apa itu?"

"Temui ibuku, dan kenalkan aku pada keluarga kakak, jika salah seorang dari orang tua kita tidak setuju, aku ...." Ziya merasa lidahnya keluh untuk kembali bersuara. Takut jika keputusan ini bukanlah pilihan yang baik untuk dia dan Khalid.

"Aku, aku apa Ziya? Gwenchana, katakan saja." Khalid meyakinkan Ziya dengan mengatakan bahwa tidak apa-apa untuk mengeluarkan segala resah yang Ziya rasakan.

Ziya menggigit bibirnya. Jantungnya kini berdegup kencang. "Aku ..., aku tidak bisa menikah denganmu."

"Mworago? Ziya ini tidak lucu. A-aku pastikan orang tuaku dan ibumu akan setuju, aku janji. Jadi, tolong jangan bilang seperti itu. Jebal ..., bisakah kita berjuang bersama?"

Ziya memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Air matanya luruh begitu saja. Adegan kenangannya bersama Khalil yang tak lain ialah Jun kembali berputar dalam ingatan.

"Aku pernah memperjuangkan sebuah hubungan, tak hanya dalam tindakan tapi juga lewat doa yang tak pernah bosan kuulangi nama yang sama. Berharap akhirnya akan sesuai harapan. Aku sudah melewati itu, kak, dan itu ... sangat melelahkan."

Khalid masih menatap mata itu. Mata yang selalu membuatnya bahagia itu kini mengurai air mata yang sedari tadi membasahi pipi Ziya. Ingin rasanya, ia menghapus air mata itu, tapi Khalid sadar bahwa dia belum pantas.

"Hingga akhirnya, aku sampai pada satu kesimpulan bahwa hubungan yang tidak direstui pasti akan berakhir lara. Dibandingkan soal perasaan cinta itu sendiri, ada sesuatu yang jauh lebih penting, dan itu adalah keluarga."

Lekukan bibir Ziya kini merekah, tatapan mata yang sendu itu perlahan berbinar, seakan tergambar bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Jadi, apapun keputusan orangtuamu dan ibuku nanti, kuharap kakak bisa menerimanya, karena dibanding aku, keluarga kakak jauh lebih penting."

Aku, Kamu dan Stetoskop | 𝑬𝑵𝑫Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang