24 | Nelangsa yang Menyiksa

84 11 0
                                    

|Aku, Kamu dan Stetoskop|

Mungkin, dari banyaknya nelangsa hidup yang Allah gariskan, fakta bahwa sosok Ibu menjadi sebab dari segala luka adalah bagian paling menyiksa.

Mungkin, dari banyaknya nelangsa hidup yang Allah gariskan, fakta bahwa sosok Ibu menjadi sebab dari segala luka adalah bagian paling menyiksa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Deg.

"A-ku?" ulang Ziya memastikan. 

"Iya. Aku akan ceritain detailnya nanti, sekarang kita fokus dulu sama keselamatan Mihran, ya. Sedikit lagi, Ibu kamu pasti akan segera tiba di sana."

Ziya meresponnya sambil mengangguk pelan, "Hati-hati di jalan, kak," tutup Ziya sebelum sambungan telepon terputus. Ia lalu berjalan gontai ke meja registrasi untuk menanyakan dimana letak tempat wudu dan musholanya.

"Permisi, ruang solatnya dibagian mana, ya?"

"Oh, mbak terus aja kearah sana, lalu belok kiri, tempat wudunya berdekatan dengan tempat salat jadi pasti langsung ketemu keduanya," jelas perempuan dibagian registrasi  itu dengan ramah.

"Baik, makasih mbak."

"Sama-sama."

"Ziya."

"Ibu?"

"Ya Allah, Nak, kamu gak apa-apa, kan?" Nafisah langsung memeluk putri semata wayangnya itu.

Rasa hangat seketika menjalar, seirama dengan deruh nafas dan isakkan tangis yang semakin kentara.

"Semua akan baik-baik saja Ziya, anak Ibu pasti bisa melewati semuanya."

"Iya, Ibu." Ziya menghapus air mata yang mengenang dipelupuk matanya. Disusul dengan pelukan dari Cici dan Lisa sahabatnya.

"Untuk sekarang, aku gak ada kata-kata untuk menenangkan kamu, Zi. Tapi, aku harap pelukanku bisa memberimu kekuatan, walau hanya sedikit," ucap Lisa dengan air mata yang mulai menetes. Bagaimanapun, Mihran juga sudah seperti anak sendiri bagi Lisa. 

"Ohiya, tadi kamu mau kemana?" tanya Lisa setelah melepas pelukannya.

"Mushola," balas Ziya.

"Kalau gitu ayo berengan."

Sementara itu, dilain tempat. Diruang gelap nan suram yang dikelilingi jeruji besi, seorang perempuan duduk di sisi ranjang sambil termenung. Pikirannya menerawangi kilas balik yang menuai kalut berkepanjangan.

"Bagaimana?"

"Maaf saya tidak berhasil membunuh perempuan itu, tapi saya berhasil membuatnya menderita."

"Apa maksudmu?"

"Anak kecil yang bersamanya mungkin dalam keadaan kritis, sepertinya bocah itu adalah anaknya."

"Apa?!! Dasar bodoh!! Aku menyuruhmu menghabisi perempuan itu! Bukan malah..."
Kalimatnya berhenti saat menyadari sesuatu.

Tangannya perlahan gemetar. "A-apa maksudmu dengan bocah itu?"

Aku, Kamu dan Stetoskop | 𝑬𝑵𝑫Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang