|Aku, Kamu dan Stetoskop|
Pada akhirnya 'pulang' selalu menyimpan banyak makna sebab mampu memeluk segala luka dari hari-hari yang berantakan.
***
Perkara takdir, tidak ada satupun makhluk-Nya yang mampu mengulik rahasia dibaliknya.
Sudut pandang manusia itu terbatas, tapi sering kali merasa bebas membenarkan pikirannya. Sekali lagi, bukankah tabiat manusia tak akan lepas dari kesalahan?
Sayangnya, tabiat tersebut bukannya menjadi bahan evaluasi diri, melainkan dijadikan alasan untuk mengembangbiakkan ego disaat takdir berjalan tak sesuai harapan.
Yena tampak Lesu, binar matanya mencerminkan tidak ada lagi harapan untuk hidup.
Sang Jae yang menyadari hal itu, berlutut didepan jeruji Yena meruntuhkan bertubi-tubi ego yang membentengi hatinya. Ia lantas berujar, "Saya suami yang gagal Yena, karena saya tidak berusaha semaksimal mungkin untuk mengenalkanmu pada-Nya."
Perlahan tapi pasti, Yena mendongakan kepalanya yang sempat menunduk. Lalu menatap mata sipit itu.
"Saya menceraikanmu karena saya ingin memberi waktu untuk kita berdamai dan mendekatkan diri pada-Nya. Selama ini, kita terlalu mengedepankan ego, sehingga mengambil keputusan tanpa melibatkan Allah yang Maha Tahu. Saya tahu, rasa sakitnya begitu dalam hingga rasanya, kematian akan menjadi obat untuk menyembuhkan luka itu." Sang Jae menjeda ucapannya sepersekian detik, mencoba menyelami kedua mata sendu itu.
"Tapi apa kamu tahu Yena? Bahkan orang yang sudah meninggal pun, berharap untuk kembali lagi ke dunia, berharap untuk selalu di doakan. Perasaan khawatir itu tetap ada Yena, bahkan saat kamu meninggalkan dunia ini. Maka saya mohon untuk bertahan, mari kita sama-sama belajar untuk bergantung pada Allah, sebesar apapun dosa kita. Allah tidak pernah bosan mengampuni hamba-Nya, lalu kenapa kita lelah memohon ampun?"
Setelah mengucapkan itu, Sang Jae beranjak. Meninggalkan ruangan suram nan redup itu dengan perasaan damai.
Dan tepat saat Sang Jae pergi, air mata Yena mengalir deras, dengan suara parau dan bergetar, ia pun bersuara, "Allah, hamba pulang."
Dilain tempat, diruangan redup dengan pencahayaan yang berfokus pada meja operasi. Bunyi monitor seakan menjadi alunan melodi hidup dan mati seorang anak kecil yang terbujur kaku dengan bantuan alat terpasang dibeberapa bagian tubuhnya.
"Dok, kita kehabisan stok kantong darah," ujar seorang perawat setelah kembali mengambil beberapa kantong darah yang diperlukan.
"Hanya tersisa 1 kantong," lanjut perawat itu lagi.
"Apa golongan darah pasien?" tanya Dika yang merupakan dokter spesialis anastesi, yang masih tetap fokus mengamati kestabilan tanda-tanda vital pasien.
"Golden blood, dok," jawab perawat tersebut.
Dika langsung melempar pandangan pada Khalil yang tangannya begitu cekatan saat ini.Golden blood atau Rhnul merupakan golongan darah langka yang hanya dimiliki kurang dari 50 orang didunia. Stok darah itupun karena hampir jarang dimiliki, sehingga hanya di impor dari luar negri.
Fokus khalil sempat terganggu beberapa detik, namun dengan cepat kembali mengontrol dirinya. Itu karena golongan darah yang mihran miliki sama dangan darah miliknya.
"Dokter Kyle," panggil Khalil pada seorang residen bedah yang menjadi asisten operasinya.
"Tolong lanjutkan sisanya, kamu bisa kan?"
"Bisa, dok," jawabnya mantap.
"Ners, tolong ikut saya. Golongan darah saya sama dengan pasien, saya akan memberi donor. Setelah itu tolong lakukan transfusi dengan segera."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu dan Stetoskop | 𝑬𝑵𝑫
Spiritualité|sᴜᴅᴀʜ ᴅɪᴋᴏɴᴛʀᴀᴋ ᴘᴇɴᴇʀʙɪᴛ| ⚠️ k𝖺𝗅𝖺𝗎 𝗅𝗎𝗉𝖺 𝖼𝖾𝗋𝗂𝗍𝖺𝗇𝗒𝖺, 𝖻𝖺𝖼𝖺 𝗎𝗅𝖺𝗇𝗀 😎 __________ ℬ𝓁𝓊𝓇𝒷 "Kakak tahu gak kenapa aku sangat ingin jadi dokter?" Pikiran Khalil mengembara memilih jawaban yang pas. "Karena ingin menolong banya...