19 | Cinta yang Membeku

75 16 0
                                    

|Aku, Kamu dan Stetoskop|

Terima kasih untuk detak yang tak lagi sama, namun masih dibekukan oleh ingatan.

Seperti yang Jun janjikan sebelumnya, pukul 8 tepat, lelaki itu sudah berada di depan rumah Ziya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti yang Jun janjikan sebelumnya, pukul 8 tepat, lelaki itu sudah berada di depan rumah Ziya.

"Halo, assalamu'alaikum, dok."

"Saya sudah di depan rumah kamu."

"Oh di depan." Detik berikutnya, mata Ziya yang sayu seketika membulat. "APA?!"

Dengan cepat gadis itu mengintip dari jendela kamar dan melirik ke arah jam weker di atas nakasnya.

"Astagfirullah," ucapnya spontan sembari menyugar rambutnya kebelakang.

Ia benar-benar lupa soal Jun yang akan menjemputnya tepat pukul 8. Pikirannya benar-benar kacau semalam, alih-alih tidur cepat untuk sejenak rehat dari bisingnya isi kepala. Ziya malah sibuk berkutat dengan banyaknya kertas yang berserakan di atas meja belajar untuk persiapan ujian tutupnya.

"Kamu baru bangun?"

"Iya maaf dok, tapi saya nggak akan lama kok, hmm 10 menit! Saya akan siap dalam 10 menit."

"Yah.. saya gak masalah sih sebenarnya, tapi di dalam mobil panas, saya boleh masuk nggak?" pinta Jun sambil sesekali mengibas kemejanya. Matahari pagi ini memang cukup terik, apalagi Jun memanglah tipikal orang yang tidak suka menunggu.

"Ma-suk?"

Ziya berpikir sejenak, lantas bergegas memakai hijabnya dan keluar kamar. "Huftt. Untung aja Ibu udah antar Mihran ke sekolah, kalau Ibu lihat Kak Khalil lagi setelah 6 tahun, Ibu pasti kaget," batin Ziya.

Tak berapa lama, Ziya keluar menemui Jun di mobilnya. Namun ia malah terdiam saat Jun berdiri dihadapannya.

"Kenapa bengong?" tanya Jun saat melihat Ziya mematung menatap ke arah luka yang ditutupi plaster di dahi kiri, dan beberapa luka kecil diarea wajahnya.

"Ha? Oh, nggak. Silakan masuk dokter, anggap rumah sendiri." Rasanya ia sangat ingin bertanya, kenapa wajahnya bisa seperti itu? Apa yang terjadi? Dokter baik-baik saja, kan? Dan rentetan pertanyaan khawatir lainnya.

"Tanpa kamu minta, saya sudah menganggap ini rumah saya," kata Jun dengan penuh percaya diri.

Lagi-lagi desiran hangat itu kembali menyapa. Bibit-bibit harapan itu kembali tumbuh tanpa bisa Ziya cegah. Namun, hatinya kembali berbisik, "Masa lalu nggak mungkin berulang Ziya, kamu yang memilih untuk mengakhiri semuanya, kan? Lalu kenapa hatimu masih menyisakan ruang kosong untuk sesuatu yang mustahil?"

Ziya menepuk kedua pipinya. Menyadarkan diri sendiri untuk bersikap realistis.

"Kamu kenapa?"

"Ya? Nggak kok, dok, hehe. Kalau begitu saya tinggal sebentar ya dok." Ziya lantas melangkah ke arah dapur untuk menyiapkan sesuatu yang bisa diminum oleh tamunya. Iya, Khalil itu tamu, yang hanya sekedar singgah bukan tinggal menetap.

Aku, Kamu dan Stetoskop | 𝑬𝑵𝑫Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang