|Aku, Kamu, dan Stetoskop|
Tapi, memaksakan sesuatu juga ada tempatnya, gak bisa diletakkan pada semua hal, termasuk dalam mencintai seseorang.
Lisa menatap hamparan langit yang hitam pekat bersama air hujan yang kian menderas dari balik jendela tempat ayahnya dirawat.
Stase yang ia lalui selama coas sudah berakhir beberapa minggu yang lalu, walaupun begitu, ia tetap harus ke rumah sakit.
Dilihatnya sang ayah yang terbujur kaku dengan selang infus ditangan kanan dan alat bantu pernapasan dihidungnya.
Dia menggenggam tangan Rahman, ayahnya, lalu mengangkatnya pelan dan ia sandarkan di dahinya. "Ayah harus kuat, ayah harus sehat, sedikit lagi Ayah, sedikit lagi Ayah lihat putri Ayah jadi dokter. Ayah ..., Lisa kangen banget sama Ayah, kenapa Ayah harus bertindak sejauh ini buat Lisa." Air matanya membasahi tangan Rahman, membayangkan perjuangan ayahnya hanya demi bisa membuat ia bersekolah.
Beberapa minggu lalu, ia mendapat kabar dari dokter pembimbingnya yang kebetulan juga bertanggung jawab pada pengobatan Rahman, kalau ginjal ayahnya memburuk, itu karena daya kerjanya sangat ekstra sejak tersisa satu ginjal saja dalam tubuhnya.
Lisa sangat kaget mendengar hal itu, jadi selama ini, ayahnya bertahan dengan satu ginjal saja? Membayangkan semua itu membuat air matanya mengalir deras, ia tidak menampik fakta yang sering orang-orang katakan bahwa memang benar, sosok ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya.
"Nggak, aku nggak boleh lemah kayak gini, Ayah udah banyak berkorban buat aku, aku juga harus kuat biar mimpi Ayah bisa terwujud." Ia beranjak menuju wastafel yang berada diruangan tempat Rahman dirawat, lalu membasuh wajahnya menghilangkan jejak air mata yang sempat menganak sungai.
Ia kembali menatap jendela, hujan diluar sana masih belum reda. Dulu ia begitu membenci hujan, karena selalu memperlambat segalanya. Tapi semuanya berubah saat ia dipertemukan dengan Ziya.
Suara rintik hujan saling bersahutan membasahi bumi, nampak seorang anak kecil duduk meringkuk di samping tumpukkan sampah sambil berteduh dari guyuran air hujan.
Dalam dingin yang menusuk hingga ketulang-tulang dan pikiran yang berkecamuk dikepala mengenai biaya sekolahnya.
Sudah 6 bulan uang sekolahnya menunggak. Sementara ayahnya tidak memiliki sepersenpun uang lagi, jangankan bayar biaya sekolah, untuk makan sehari saja begitu susah.
"Kamu baik-baik saja?" Dia menengadah, melihat si penanya.
Tangan kecil gadis itu menyentuh dahinya, "Kamu demam, ikut Ziya pulang yuk, nanti Ziya buatin teh hangat buat kamu."
Dia masih diam membisu, karena tidak mendapat balasan, Ziya langsung menarik tangannya. "Ayo, biar Ziya ada temennya di rumah, ikut, yah? Ibu juga lagi masak makanan enak loh." Senyum Ziya merekah, menyalurkan kehangatan pada dinginnya malam hari itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu dan Stetoskop | 𝑬𝑵𝑫
Spiritualité|sᴜᴅᴀʜ ᴅɪᴋᴏɴᴛʀᴀᴋ ᴘᴇɴᴇʀʙɪᴛ| ⚠️ k𝖺𝗅𝖺𝗎 𝗅𝗎𝗉𝖺 𝖼𝖾𝗋𝗂𝗍𝖺𝗇𝗒𝖺, 𝖻𝖺𝖼𝖺 𝗎𝗅𝖺𝗇𝗀 😎 __________ ℬ𝓁𝓊𝓇𝒷 "Kakak tahu gak kenapa aku sangat ingin jadi dokter?" Pikiran Khalil mengembara memilih jawaban yang pas. "Karena ingin menolong banya...