13 | Luka yang Terlanjur Dalam

124 16 5
                                    

|Aku, Kamu dan Stetoskop|

Membuka halaman yang terlewat itu sama saja membuka kembali dua hal, yang pertama bahagia yang tak berulang, dan yang kedua melukai hati yang hampir sembuh dari patah. Jadi untuk apa membuka halaman itu lagi?

 Jadi untuk apa membuka halaman itu lagi?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ini tagihan pengobatan ibu kamu."

Ziya memandangi selembar kertas di atas meja yang berisi rincian pembayaran ibunya selama setahun.

Matanya terbelalak melihat total keseluruhannya. "Li-lima ratus juta?" Ia kembali memastikan pada sosok wanita paruh baya yang duduk angkuh di depannya.

"Kenapa? Kaget? Kamu pasti berpikir selama ini Khalil yang membayar semua tagihan itu kan? Kamu kira seorang dokter intership sanggup membayar tagihan sebanyak itu?"

"Jadi selama ini, ibu yang--"

"Jangan panggil saya ibu, sejak awal saya tidak pernah sudi punya menantu miskin kayak kamu!" hardik Yena membuat Ziya tersentak sambil merunduk dalam.

"Sampai sekarang saya tidak habis pikir, kenapa anak saya bisa mencintai perempuan kayak kamu yang menjauhkan surga dari hidupnya."

"Maksud anda?"

"Saya yakin kamu pasti tahu, kalau surga seorang laki-laki yang sudah menikah ada pada ibunya dan surga seorang istri ada pada suaminya, tapi sekarang, demi kamu Khalil malah mencampakkan saya, ibu kandungnya yang sudah merawatnya dari alam rahim, apa kamu pikir, perempuan kayak kamu pantas?"

Ziya tidak menampik fakta bahwa apa yang Yena katakan memang benar, sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda; "Siapakah yang berhak terhadap seorang wanita? Rasulullah menjawab: "Suaminya" (apabila sudah menikah). Kemudian Aisyah Radhiyallahu 'anha bertanya lagi: "Siapakah yang berhak terhadap seorang laki-laki? Rasulullah menjawab: "Ibunya," (HR. Muslim).

Ziya kembali menguatkan hati, walau memang benar, tapi dia tidak pernah berniat agar suaminya membenci ibu kandungnya sendiri. "Anda benar, tapi asal anda tahu saya tidak pernah mencoba membuat Khalil membenci ibunya sendiri," ucapnya lantang. Bagaimanapun Ziya sudah berjanji pada Khalil untuk berjuang bersama, ia tidak boleh mundur begitu saja.

"Kalau begitu, saya minta kamu lunasi utang kamu sekarang juga."

Yena tersenyum miring melihat ketidakberdayaan Ziya. "Kamu pasti tidak sanggup, kan? Jadi tinggalkan anak saya, pergi sejauh mungkin, jangan pernah kembali lagi, dengan begitu saya akan menganggap semuanya impas. Bagaimana?"

***

Braak!

Khalil membuka ruang kerja sang Ibu dengan kasar, namun wanita itu masih tetap santai sembari menyeruput tehnya tanpa terusik sedikitpun.

"Mah, dimana Ziya? Mama yang suruh Ziya pergi dari hidup Khalil, kan?! Jawab Khalil Mah!!" raung Khalil seperti orang kesetanan.

Pertahanan Khalil runtuh begitu saja, ia sudah mencari keberadaan Ziya di semua tempat, tapi tidak menemukannya.

Yena menurunkan tehnya lalu menatap anak sulungnya. "Kamu masih mencintai dia yang lebih memilih uang yang mama kasih dibanding kamu? Nak, mama sudah bilang dari awal perempuan itu hanya mau harta kita, dia itu perempuan nggak baik!"

"Ck! Khalil lebih tahu seperti apa perempuan yang Khalil cintai. Bukankah mama dari awal selalu mengungkit status Ziya yang miskin? Dari awal yang selalu mama utamakan itu hanya harta, kan?"

"Jaga mulut kamu Khalil! Mama ini orang tua kamu! Kamu lebih memilih perempuan itu dibanding mama, begitu?!"

"Mama yang paksa Khalil buat milih Ziya dibanding mama. Selamat Ma, selamat karena sudah buat hidup Khalil hancur!"

"Khalil!!" teriak Yena namun yang dipanggil seakan tuli.

Lelaki itu terus berjalan seperti mayat hidup, hingga sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dari arah kanan. "Khalil, awas!!" teriak Yena histeris.

Ciiiiitttt!!

Sopir mobil tersebut berusaha menginjak rem, namun terlambat. Mobil itu terlanjur menghantam tubuh Khalil hingga membuat tubuhnya terhempas, kepalanya pun membentur bagian depan mobil sebelum akhirnya terguling-guling di atas aspal.

Bau anyir darah menyeruak memenuhi rongga penciuman Yena, rasanya begitu hancur melihat anaknya bersimbah darah.

"Nak, mungkin kamu pikir keputusan mama saat itu sangat egois, mama hanya ingin kamu bahagia, suatu saat kamu pasti mengerti." Yena mengusap pelan foto Khalil, jika mengingat kejadian 6 tahun lalu selalu membuatnya trauma.

Dering telepon rumah membuyarkan lamunan Yena, wanita itu beranjak, meletakkan ganggang telpon itu ditelinga kanannya.

Terdengar sepatah kata dari sebrang sana yang mampu membuatnya ketakutan. Pikiran Yena berkecamuk tak karuan. Setelah sekian tahun berlalu, kenapa harus suara itu yang ia dengar lagi?

Yena langsung menutup kasar telepon rumah itu. Badannya melemas, hampir saja ia terjatuh jika Jun tidak menahannya. "Ma? Mama baik-baik saja kan?"

"I-iya nak. Sepertinya mama cuman kecapean," dalih Yena.

"Jun antar ke rumah sakit, ya, Ma," tawar Jun. Lelaki itu begitu khawatir pada keadaan sang ibu.

"Eh, nggak usah, mama istirahat di rumah aja."

"Oh yaudah, kalau begitu, Jun pamit ya."

"Kemana?"

"Lah, mama lupa ya? Hari ini kan Arumi tiba di Indonesia. Jun mau jemput Arumi dibandara."

"Arumi? Kalau begitu mama mau ikut kamu, masa iya menantu mama datang, tapi nggak mama sambut."

"Nggak usah Mah, Mama istirahat aja."

"Jun ...," ucap Yena dengan nada memohon. Jun menghela nafas berat sebelum akhirnya mengangguk sebagai jawaban.

***

Seorang perempuan menatap penuh kebencian pada foto yang melekat di dalam album berwarna abu-abu tersebut.

Ingatan masa lalu membawanya kembali mengingat luka yang ibunya torehkan, terlalu dalam sehingga sulit untuk disembuhkan. Sampai ia selalu berpikir, apa pantas wanita yang melahirkannya itu ia panggil sebagai ibu?

"Allah, bagaimana caranya agar aku bisa memaafkannya?" Ia berdoa, penuh harap. Tak pernah terfikirkan cara keji untuk membalaskan rasa sakit itu pada ibunya.

Tapi ..., entahlah, ia hanya berharap cara yang ia pilih bisa membuat ibunya sadar, bahwa kebahagian tidak diukur dari banyaknya harta, tapi hati yang selalu merasa cukup. Itu saja.

Dia menekan beberapa angka, lalu menghubungi seseorang.

"Apa kabar nyonya Mahendra?" tanyanya saat panggilan itu tersambung.

"Si-siapa kamu?!" tanya Yena dengan suara gemetar. Mahendra. Tentu saja terdengar akrab ditelinga Yena sebab itu adalah bagian dari masa lalunya.

Perempuan dibalik telepon itu tertawa, sambil menampikkan senyum sarkas. Sekali lagi, bukan ini yang perempuan itu inginkan, tapi keadaan menuntutnya untuk berbuat demikian.

"Oh hanya kenalan lama, yang ingin menanyakan kabar saja. Ah! Maaf. Sepertinya ada sedikit kesalahan, biar kuulangi, apa kabar ibuku sayang?" ucap perempuan itu, hingga setelahnya panggilan itu terputus.

"Ibu, kamu yang memaksaku mangambil jalan ini, jadi jangan salahkan aku."

_______

Kamis, 12 Agustus 2021
Written by Rainy El Isra
__________

Haii freennn dunia orens
Jumpa lagi kita
Gimana kabar kalian?
Sehat selalu ya ♡
Aku harap kalian suka dichapter ini
and, see you next chapter! ;)

Aku, Kamu dan Stetoskop | 𝑬𝑵𝑫Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang