16 | Belenggu Masa Lalu

142 14 2
                                    

|Aku, Kamu dan Stetoskop|

Sesudah kesulitan pasti ada kemudahan. Itu janji Allah dalam Al-Quran, dan Dia tidak pernah sekalipun ingkar janji.

Masalah yang datang menghampiri hidup kita diibaratkan seperti matahari disiang hari, posisi bayangannya jatuh tepat didepan kita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Masalah yang datang menghampiri hidup kita diibaratkan seperti matahari disiang hari, posisi bayangannya jatuh tepat didepan kita.

Begitupun halnya dengan masalah yang sebenarnya selalu ada didepan kita. Bukan untuk dihindari, tapi untuk dihadapi, karena jika kita ingin lari pun ia akan terus mengikuti kita kemanapun.

Seperti itulah kira-kira apa yang ada dipikiran Ziya sejak beberapa hari terakhir.
Ia sudah sangat lelah lari dari semuanya, kenangan yang dibungkus oleh masa lalu itu seakan tak ingin enyah dari hidupnya.

Namun lagi-lagi, apa yang ia pikirkan itu tidak mudah untuk dipraktikkan. Ia memang lelah, tapi dilain sisi, ia juga belum siap mengahadapi semuanya.

"Kenapa Zi? Pesan dari siapa sih? Kamu, kok, jadi pucet gitu?" berondong Cici ketika memperhatikan raut wajah Ziya yang terlihat khawatir.

Ziya tidak merespon. Perempuan itu malah beranjak, lalu melangkah dengan tergesa-gesa.

"Zi? Ziyaa!! Hey ..." Cici mencegat erat lengan Ziya.

"Lepasin Ci!!" erang Ziya. Cici yang mendengarnya terkesiap.

"Kamu kenapa sih?"

"Khalil, khalil ..." Ucapannya terhenti, rasanya begitu sulit untuk berkata-kata.

Melihat hal itu membuat Cici lantas merampas handphone yang Ziya pegang, memastikan pesan apa yang membuat Ziya begitu depresi.

"Ci. Kalau nanti Khalil bakal ingat semuanya, apa yang harus aku lakuin Ci?" Air mata Ziya menganak sungai, rasanya begitu sesak hingga sulit membendung semua luka yang ia pendam.

Ziya menjeda ucapannya, menarik napas pelan, agar mampu kembali bersuara. "Apa aku harus pergi lagi sejauh mungkin? Pergi agar tidak ada lagi yang terluka, meskipun ..."

"Meskipun kamu sendiri yang akan terluka," sela Cici melanjutkan ucapan Ziya.

Ziya mengangguk lemah. Sementara sahabatnya itu menatapnya iba.

Cici bukan seseorang yang bijak dalam memberi nasihat, bukan juga orang yang paling berpengalaman sehingga bisa tahu bagaimana lelahnya berlari sejauh mungkin hanya agar bayangan yang selalu ingin bersamamu tetap berdiri di sisimu.

Tidak. Hidup Cici tidak sedramatis itu. Tapi, melihat bagaimana Ziya berjuang dan bertahan, membuat hatinya seolah teriris saat melihat Ziya menangis.

"Zi, lihat aku," pinta Cici saat melihat kedua mata Ziya yang terlihat kosong, kedua bola mata indah itupun perlahan mengalihkan fokusnya kearah Cici, sahabatnya.

"Jangan lari lagi yah," katanya sembari memegang tangan Ziya menyalurkan kekuatan.

"Aku nggak bisa menjamin semuanya akan baik-baik saja. Tapi, kamu harus selalu ingat Zi, sesudah kesulitan pasti ada kemudahan." Jeda sebentar.

Aku, Kamu dan Stetoskop | 𝑬𝑵𝑫Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang