2. Keputusan

51 12 13
                                    

Rayan

Gue nggak tau kenapa Ziya tiba-tiba meminta gue untuk datang ke rumah sakit. Satu hal yang bisa gue tangkap dari suaranya, keadaan sedang nggak baik-baik aja. Gue tau betul seperti apa sosok Ziya. Dengan rasa khawatir yang cukup menguasai diri gue, gue pun semakin menancapkan gas. Dan sedikit info, gue terpaksa nggak jadi masuk kelas pagi.

Berkali-kali makian dan umpatan gue lontarkan karena banyaknya lampu merah. Gue makin kesal saat hampir menabrak emak-emak yang mau belok kanan, tapi pakai rating kiri. Astaga. Seandainya itu bukan orang tua, mungkin umpatan yang sama akan gue berikan. Untung gue masih ingat mama, jadinya udah deh, terpaksa diurungkan.

Makin dekat dengan lokasi, makin macam-macam aja pikiran gue. Kadang ngebayangin Ziya nangis guling-guling di lantai rumah sakit, atau terbayang Ziya dan ibunya yang berteriak histeris di ruangan Harri. Bahkan, gue sempat ngebayangin Ziya meneriaki orang-orang karena kesal menunggu gue yang kelamaan datang. Semoga aja ini cuman khayalan doang. Semoga aja kabar buruk nggak nyamperin gue hari ini.

Pas sudah selesai markir motor di parkiran, gue pun lari secepat atlet maraton. Tubuh gue meliuk-liuk saat berpapasan dengan pasien, perawat, dan tenaga medis lainnya. Sebagian gue merasa bangga karena bisa sekeren ini, tapi sebagian lagi gue makin kepikiran tentang info apa yang akan dikasih tau Ziya nanti.

Akhirnya sampailah di ruangan ini. Gue cuman melihat Harri yang lagi terbaring lemah di brankar. Dia sedang tiduran, tapi bisa gue lihat bagaimana lelahnya dia menahan rasa sakitnya. Bibirnya pun pucat, dan itu berhasil membuat pikiran gue melayang ke arah yang negatif.

Tak mau larut dalam pertanyaan, gue pun bergegas mencari Ziya. Baru aja membuka pintu, tiba-tiba Ziya dan ibunya nongol depan pintu. Kaget, tapi gue berusaha tetap keren alias pura-pura biasa aja.

"Akhirnya ...," kata gue sambil memasang wajah lega.

Ziya melirik ibunya, mengisyaratkan agar masuk duluan. Dan setelah ibunya masuk ke ruangan, Ziya meminta gue mengikutinya.

Kita duduk di kursi panjang yang terletak di seberang ruangan Cempaka.

Gue perhatikan Ziya dengan lekat. Setelahnya gue pun berkata, "Ada apa? Kenapa tiba-tiba manggil?"

Dia menoleh. Namun, itu hanya sebentar. Setelahnya Ziya menunduk.

Gue menghela napas. Gue elus rambutnya. "Ada apa, Zi? Apa yang kamu pikirkan?"

"Rayan ...."

Gue berdeham, pertanda menunggu kelanjutannya.

"Tadi Harri mimisan lagi."

Gue geserkan tubuh gue untuk mendekat ke Ziya. Tanpa aba-aba lagi, gue raih tangan kirinya. Kedua tangan gue memegangnya erat. "Dokter menyarankan agar Harri segera melakukan tranplantasi sumsum tulang belakang, Yan."

Gue saksikan mata Ziya mulai berkaca-kaca. "Tapi, sebelum itu Harri harus melakukan kemoterapi lagi." Ziya menoleh. "Yan ... kamu tau sendiri, kan, efek samping dari kemoterapi? Aku nggak tega kalau harus melihat Harri kesakitan lagi, kalau harus melihat Harri sering mual-mual lagi. Aku nggak tega."

Tangis Ziya akhirnya tumpah. Gue mendekapnya, berharap bisa mengurangi beban yang dirasakannya. Sambil menggeleng, Ziya lanjut berkata, "Tapi aku juga nggak suka melihat Harri mimisan terus. Rasanya ... rasanya ingin aku aja yang sakit, ingin aku aja yang ada di posisinya, ingin aku aja yang-"

"Nggak. Kamu kenapa, sih, jadi ngomong yang nggak-nggak gini," potong gue dengan nada yang sedikit tinggi lalu melepaskan pelukan. "Ziya dengerin aku. Kamu mikirin perasaan Harri, kan?"

RENGKAH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang