4. Amarah Kehilangan

15 4 2
                                    

Rayan

Gue udah kayak orang kesetanan. Panik dan takut sekaligus khawatir Ziya bakalan ngelakuin yang nggak-nggak. Sepanjang jalan pikiran gue udah kayak emak kehilangan anaknya. Gelisah, resah, menyesal, kesal, gak bilang, sayang, cinta, kamuuu. Sori-sori banget nih, ya. Gue malah nyempilin lagu tiktok di mari.

Tiba di teras rumah Ziya, gue ketok pintu sekencang-kencangnya.

"Ziya!"

Belum juga disahut.

"Zi!"

Masih diam.

"Ziy-"

Klek

Gue disuguhi dengan pemandangan yang cukup membuat gue merasa sedih dan nggak tega. Rambutnya berantakan, matanya sembab, dan hidungnya merah.

"Ziya."

"Gak pa-pa. Ayo berangkat," sahutnya yang langsung keluar, lalu mengunci pintu rumah.

Gue menghela napas.

Usai mengunci pintu, tanpa menunggu gue, Ziya duluan menuju motor. Karena merasa nggak ditungguin, gue pun menahan pergelangan tangannya.

Dengan wajah nyolot, Ziya bilang, "Apa sih!"

Gue bukan orang baru yang nggak tau apa-apa tentang Ziya.

"Nggak usah pura-pura gitu. Aku tau kamu marah supaya nggak ketauan lagi sedih."

"Lepasin gak? Berisik. Aku mau ke rumah sakit, cepet!"

Gue lepasin tangannya. Setelah itu gue mengelus rambutnya, lalu berbisik, "Yang terjadi pasti yang terbaik, Zi."

Ziya menatap nanar ke gue. Matanya udah berkaca-kaca, tapi gue langsung menuju motor-dengan maksud supaya Ziya bisa puas menangis di jalanan.

Sesampainya di rumah sakit, Ziya bergegas ke ruangan Harri. Gue sebagai kang joki sekaligus pahlawan kemalaman, ngikutin langkahnya. Makin cepat dia melangkah, gue pun juga.

"Astaga, Yan, aku lupa Harri kritis. Dia nggak di ruangan ini," ujarnya sambil menepuk jidat.

Melihat Ziya kayak orang tersesat, nggak tahu mau ke mana, gue pun memegang tangannya. Sekarang gue yang mimpin, karena Ziya udah benar-benar kacau.

Bolak-balik melewati lorong rumah sakit, akhirnya kita tiba di sini, di ruangan menyakitkan dan penuh dengan harapan. ICU.

Gue pikir keadaan Ziya udah yang paling kacau, tapi ternyata itu salah. Ibunya jauh lebih berantakan, gue sakit melihat penampilan Ibu yang begini, rasanya hati gue kayak disayat. Bagaimanapun juga, gue udah nganggep Ibu Ziya sebagai Ibu gue sendiri. Kita dekat selama bertahun-tahun, dan wajar kalau gue juga merasakan sakit yang dirasain Ibu.

Ziya berjalan lebih pelan. Dia terkejut melihat kondisi ibunya.

"I-ibu ...." Ziya menangis. Setelahnya gue menyaksikan mereka berpelukan, saling menebar kekuatan satu sama lain.

Bagi gue ini pemandangan yang mengharukan. Gue pun mendekat.

"Harri kenapa, Ibu? Harri kenapa jadi kritis? Bukannya tadi pas aku pulang dia baik-baik aja? Ibu, Harri kenapa?"

Pertanyaan Ziya berhasil membuat Ibu menangis dengan keras. Raungan Ibu mengartikan sesaknya perasaannya. Gue, terdiam. Kali ini gue nggak tahu harus gimana.

Ziya semakin mengeratkan pelukannya. Lalu gue pun memutuskan untuk bergabung dengan mereka. Iya, gue meluk mereka berdua. Sebagai satu-satunya cowok di antara mereka, gue berusaha jadi yang paling kokoh. Gue menepuk-nepuk punggung Ibu dengan pelan, siapa tahu bisa membuatnya lebih tenang.

RENGKAH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang