3. Mimpi Terburukku

29 7 3
                                    

Ziya

Setelah kedatangan Rayan, aku memintanya untuk pulang. Meski dia sempat menolak karena khawatir padaku, aku juga tak kalah keras menolak keinginannya.

Aku kembali masuk ke ruangan Harri. Kusaksikan mata sembab Ibu bersama dengan kelesuan adikku. Rasanya seperti teriris, tetapi aku berusaha menampik itu semua.

Tak berapa lama, Harri bangun. Dia menoleh padaku, memberikan isyarat agar aku mendekat.

Maka, pelan-pelan aku melangkah menuju samping kanannya. "Ada apa, Harri?" tanyaku dengan suara selembut mungkin.

"Kakak ...." Aku memandangnya dengan lekat. "Kalau nanti beli pisang cokelat di warung langganan, Kakak nggak perlu lagi cepet-cepet makannya."

"Maksudnya?"

"Maksudku, mulai sekarang nggak ada lagi saingan Kakak buat berebut pisang cokelat."

Aku terdiam. Menelaah kembali ucapannya.

"Sebentar lagi aku akan bertemu dengan makanan yang lebih mewah. Dan itu nggak di sini," lanjutnya yang diiringi dengan seulas senyum.

"Kamu kenapa, sih, ngomongnya sembarangan gitu." Tatapan tajam kuberikan. "Jangan lagi ngomong kayak tadi, kamu pasti sembuh."

Harri tak lagi menyahut. Sekarang dia menatap kosong ke langit-langit ruangan. Ibu menyimak perbincangan kami, dan itu berhasil membuat air matanya tumpah lagi. Aku menghela napas. Lalu pamit kepada mereka, beralasan ingin pergi ke kampus.

"Bu, Harri anak yang kuat. Dia pasti bisa melawan penyakitnya. Ya, kan, Harri?"

Harri menoleh, tatapannya padaku sulit diartikan. Seperti ada perpaduan antara yakin dan ragu.

"Aku pergi dulu, Assalamualaikum."

Setelah itu, aku segera menuju halte bus yang berkisar 10 meter dari sini.

Tiba di sana, aku langsung duduk. Pikiranku mulai melayang kepada tawaran yang diberikan Rayan. Haruskah aku berhenti? Atau lebih baik terus melanjutkan? Ah, aku benar-benar bimbang. Dan bertepatan dengan kebimbangan itu, bus pun datang. Segera kutepis pertanyaan tadi, lalu beranjak memasuki bus.

Lumayan banyak ruang kosong di dalamnya. Aku memutuskan duduk di tengah-tengah, dan memilih dekat dengan kaca.

Saat memandangi orang-orang yang berlalu lalang di jalan, aku dikejutkan dengan kehadiran seorang pria dengan kumis tebal di sampingku. Sepertinya dia berusia sekitar 30 tahunan. Aku menarik napas sedalam-dalamnya, berusaha menenangkan pemikiran burukku.

Aku tak mau menoleh padanya, dan terus melawan rasa takutku. Namun, semua menjadi gagal karena dia mengajakku berbicara.

"Masih sekolah, Nak?" tanyanya yang berhasil membuat kepalaku memutar kejadian lalu.

Aku memejamkan mata. Kututup telingaku agar tak lagi mendengar suaranya. Bukannya dia berhenti, pria itu malah semakin mendekat.

"Jangan mendekat," kataku dengan cepat.

Dan kurasakan dirinya mulai menjaga jarak. Setelah itu kucoba menurunkan tanganku yang menutupi kedua telinga.

"Ma-maaf, saya boleh permisi sebentar?"

Pria itu tampak bingung, tetapi dia pun berdiri dari duduknya, memberikan jalan untukku lewat.

Aku segera melewatinya, dan duduk di kursi belakang yang masih kosong.

Ini menyedihkan. Kenapa ketakutanku muncul lagi?

Mimpi itu ternyata membawa dampak buruk di kehidupan nyataku. Mimpi itu telah membuka luka lamaku, dan memanggil rasa takutku kembali.

RENGKAH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang