Katanya mau sedekat apa pun, mau sesering gimanapun berbagi keluh kesah, setiap orang tetap punya privasinya sendiri yang tak harus diceritakan. Bukan tidak percaya, tetapi bukankah kita berhak memberi ruang untuk diri sendiri dari orang lain?
Ziya
14 Mei 2020, hari terburuk keduaku setelah kejadian masa kecil dulu. Malam itu, aku menyaksikan dari kaca bagaimana dokter berusaha keras menolong Harri. Tiga kali alat kejut jantung dicoba, dan semua tetap sama, Harri tak lagi sadar.
Selama satu bulan ini, aku merasa kosong. Rumah ini begitu dingin, bukan karena udara, tetapi karena hilangnya dua sosok berharga dalam hidupku. Harri yang berada di sana, dan Ibu yang tak lagi hangat. Perasaan Ibu seperti dimatikan kenyataan, tak ada lagi basa-basi di antara kami, apalagi canda tawa yang biasanya muncul begitu saja. Ditambah, rasa takutku semakin nyata. Aku selalu takut setiap kali ingin keluar rumah, sebab di luar sana akan ada banyak orang yang mirip seperti dia-penjahat terbesar dalam kisahku.
Pagi ini aku ada kelas. Dan seperti biasa, aku akan duduk di teras, menunggu kedatangan Rayan. Saat yang kutunggu telah tiba, aku sedikit kaget dengan matanya yang terlihat sayu.
"Ada apa?" tanyaku sebagai kalimat pembuka pertemuan hari ini.
"Yuk berangkat." Aku mendengus, lalu setelah itu Rayan turun dari motornya.
"Hah? Kenapa turun? Katanya ayo."
"Ibu ada, kan? Aku mau pamitan."
"Rayan udah. Kamu nggak capek didiemin Ibu terus-terusan? Kamu aja pagi ini kelihatan nggak oke, lalu sekarang mau pamitan sama Ibu?"
"Zi," panggilnya dengan suara yang pelan-hampir tak kedengaran. "Gak boleh aku berusaha mengambil hati Ibu lagi? Aku mau memperbaiki hubungan yang putus ini, Zi. Bagaimanapun juga, bagiku ibumu sudah seperti ibuku. Jadi, jangan halangi aku buat terus berusaha."
Aku cuman bisa diam, dan membiarkan Rayan masuk ke rumah. Namun, karena kepikiran, aku pun mengejarnya.
Ibu lagi duduk di meja makan, mengaduk-ngaduk kopi yang sudah sejak tadi kubuatkan. Dari sini aku melihat langkah Rayan semakin dekat ke arah ibu.
"Ibu, Rayan mau pamit dulu," ucapnya seraya meraih tangan ibu untuk bersaliman.
Ibu diam, tetapi juga tidak menolak. Aku merasa lega dan senang, karena akhirnya ibu mulai ingin berdamai dengan Rayan.
"Ini yang terakhir. Setelah itu berhenti muncul di depanku lagi."
Rasa senang itu hilang dalam sekejap. Mendengar kalimat yang dilontarkan ibu, aku merasa sesak. Aku rindu dengan ibu yang dulu, benar-benar merindukannya.
Melihat Rayan yang ingin berlutut, aku lekas menahannya. "Rayan, aku nanti telat," kataku yang sebenarnya tidak benar. Masih ada waktu 30 menit sebelum kelas dimulai.
Rayan melirik padaku sekilas, lalu setelah itu menghela napas. Dia pun kini berbalik, menuju pintu. Aku tersenyum miris menyaksikannya yang mulai putus asa. Setelahnya mataku menuju ke ibu, fokus kepada lamunannya yang membuatku teriris. Tatapan itu kosong, seperti tak ada lagi ruang untuk ibu kembali bahagia. Aku mengecup kening ibu, lalu bergegas pergi kembali.
Di sana, Rayan sudah siap berangkat-tinggal menungguku.
"Rayan."
"Kita bahasnya nanti aja, ya. Ayo berangkat," sahutnya diiringi senyuman kecil.
Aku mengangguk samar. Setelahnya kita pun berangkat.
Saat tiba di kampus, Rayan ingin kembali pergi. Aku pun heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
RENGKAH (TAMAT)
Ficção AdolescenteZiya pernah merasa aman. Namun, keamanan itu hanya sesaat. Sosok yang ia percayai telah menimbulkan trauma di dalam dirinya. Meski menyakitkan, Ziya berhasil mengatasi itu semua. Sebab di rumahnya ada dua orang yang selalu memberikan kasih sayang un...