Rayan
Ziya kenapa, ya, suka bikin orang panik? Tadi gue pikir dia pingsan, soalnya dibangunin nggak bangun-bangun. Eh taunya ternyata tidur. Katanya kepalanya tadi pusing banget, dan akhirnya dia ketiduran.
Cuman, pas gue bangunin tadi, dia berkeringat dingin dan teriak. Gue nggak tau mimpi apa lagi dia, yang jelas ekspresinya sama kayak waktu di rumah sakit kemarin.
Sekarang gue lagi liatin dia makan nasi sop buatan mama. Awalnya tu nasi diaduk-aduk doang sama dia. Terus gue marahin. Tapi jangan mikir gue marahnya teriak-teriak kayak ospek, ya. Gue marah kayak negur gitu, lho. Cuman suaranya agak ditegasin.
Tentang kejanggalan sama tingkah Ziya hari ini, gue nggak mau ambil pusing dulu. Gue coba buat berpikir positif, mungkin dia masih butuh adaptasi sama keadaan sekarang.
Ini gue lagi nemenin mama buat belanja bulanan. Serius, ya, daritadi rasanya nggak fokus banget. Kepikiran Ziya terus.
"Ma, ini masih lama?"
Mama masih sibuk memilih-milih sabun cucian. Dan gue dikacangin.
"Mama kok lama bener milih sabun. Sini aku pilihin, yang ini aja, Ronsi. Banyak nongol diiklan."
"E-eh jangan! Lumayan harganya beda dua ribu. Doia aja, biar dapat satu piring kaca," debat mama yang langsung mengambil sabun pilihan gue, terus dibalikin ke tempatnya.
"Nyari apa lagi? Udah, kan?"
"Iya-iya udah. Kamu ini nggak sabaran banget. Mama kan harus meneliti harga-harga dulu kalau belanja."
"Ya iya terserah Mama aja." Gue pun menaroh keranjang belanjaan di meja kasir.
Kelar nemenin mama belanja, gue lega. Jadi bisa cepat-cepat liat Ziya. Ini daritadi kepikiran terus, dan mama juga nggak pekaan banget heran.
"Kan Mama udah bilang, kalau bawa Mama jangan kayak balapan," ucap mama sambil turun dari motor.
"Ini tu kecepatannya normal kok, Ma. Cuman 50 km/jam."
"Yang normal harusnya 40. 50 bagi Mama udah termasuk cepat."
"Hah, ya kali aku bawa motor kecepatan segitu. Kelamaan."
"Dasar. Paling juga kalau sama Ziya segitu, supaya lama jalannya." Mama pun buru-buru masuk, karena sadar muka gue udah kesel dengan ucapannya.
"Untung mama gue. Tapi benar, sih. Tapi kalau ke kampus nggak, kok. Yang ada entar diteriakin sama Ziya."
Usai berdebat soal kecepatan motor dengan mama, gue langsung menuju kamar Ziya. Pertama gue ketok dulu, biar ada sopan-sopannya juga.
"Masuk aja," katanya dari dalam.
Gue pun masuk. "Udah tidurnya?"
Ziya mengangguk. "Oh iya, kamu kapan nganterin aku ke rumah buat ngambil barang-barang?"
"Mau sekarang?"
"Iya."
"Ya udah ayo. Aku tunggu di ruang tamu."
Setelah itu gue keluar. Tapi ini bohong, kata siapa langsung nunggu di ruang tamu, gue ke kamar dulu—buat dandan alias ngerapiin rambut.
Kelar ngerapiin, buru-buru gue menuju ruang tamu.
"Katanya nunggu di ruang tamu."
Hah? Anjim malah duluan Ziya.
"I-itu aku mau ngambil dompet di kamar."
"Oh gitu."
"Iya. Yok otw," ajak gue. Ziya pun mengangguk lalu mengikuti langkah gue.
"Tumben banget mobil ayah bersih gini. Kesambet apa coba."
Gue berharap banget Ziya bakalan ngerespons. Tapi ya gimana ya, nggak bisa dipaksa juga, kan?
Pas kita di dalam, Ziya fokusnya langsung ke jendela mobil. Gue pun nggak mau ganggu ketenangan dia, dan memilih fokus ke jalanan.
Lumayan lama kita saling diam. Daripada sunyi kayak begini, gue putusin buat nyetel lagu di radio.
"Zi, besok kamu mulai balik ke kampus?"
"Em ... nggak tau."
"Kalau belum siap, jangan dipaksa. Tapi kalau memang udah mau balik, nggak pa-pa, aku dukung kok."
"Makasih," balasnya singkat.
Gue tersenyum kecil. Seenggaknya udah lumayan berubah jawabannya.
Sekarang cuman ada suara musik di sini. Sesekali gue melirik ke Ziya, dia masih tetap menatap jendela mobil. Ziya melamun lagi.
Sampai akhirnya kita tiba di rumahnya. Ziya sempat terdiam saat memasuki halaman rumah. Dia menatap nanar rumah ini.
"Aku rindu," lirihnya yang bisa gue dengar. "Tempat ini menjadi saksi gimana bersalahnya aku."
"Zi."
"Rayan, aku gagal menjaga ibu. Seandainya waktu itu aku nggak duduk di teras ini, aku nggak bakal kehilangan ibu. Aku ... aku pembunuh."
"Zi, lihat aku."
"Nggak. Aku mau masuk," balasnya kemudian berjalan ninggalin gue.
Gue nggak mau kalah, gue tahan pergelangan tangannya. "Berhenti nyalahin diri kamu sendiri, Zi. Aku nggak mau kamu disiksa oleh rasa bersalah."
"Tapi aku memang salah. Aku memang bersalah."
"Dulu aku pernah baca novelnya Tere Liye. Ada satu kalimat yang benar-benar aku ingat. Katanya, kehilangan selalu menyakitkan. Dan jika berada di pihak yang ditinggalkan, cobalah melihat kepada sisi yang pergi."
"Rayan cukup. Aku nggak mau bahas lagi." Ziya menarik tangannya.
Gue mengembuskan napas dengan kasar. Sifat keras kepala itu masih bertahan di dalam dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RENGKAH (TAMAT)
Teen FictionZiya pernah merasa aman. Namun, keamanan itu hanya sesaat. Sosok yang ia percayai telah menimbulkan trauma di dalam dirinya. Meski menyakitkan, Ziya berhasil mengatasi itu semua. Sebab di rumahnya ada dua orang yang selalu memberikan kasih sayang un...