15.

3 1 0
                                    

Ziya

Ini sudah malam, dan Rayan belum juga datang. Sudah berkali-kali aku neleponnya—setelah tadi sempat saling membalas pesan. Aku kenal Rayan dari lama. Ini adalah kali pertamanya dia benar-benar mengabaikanku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi kalau harus kehilangan Rayan yang kukenal. Namun, satu hal yang pasti, aku akan terus mencoba untuk mendukung apa yang diinginkannya—bahkan kalau harus tidak seperti biasanya lagi.

Dengan perasaan gelisah yang terus menjalar di tubuhku, aku menutupinya dengan masuk ke kamar Rayan di lantai atas. Aku tau ini lancang, tapi aku ingin menikmati udara malam dari balkon kamarnya. Terakhir kali memasuki ruangan ini akhir tahun lalu, saat aku dan Harri berkunjung ke sini.

Aku menatap nanar langit malam. Kataku bicara padanya, kenapa kehidupan suka memberi kejutan yang begitu tiba-tiba? Coba seandainya seperti kejutan ulang tahun, yang sesuai tanggal kelahiran, mungkin aku akan lebih siap menerima semua kejutan dari semesta ini.

Embusan napas kasar kulakukan. Lalu aku pun berduduk di kursi. "Rayan, maafin aku."

Senyum hambar kurasakan mengembang di wajahku. Ketakutan tentang ayah dan kehilangan ibu ternyata belum cukup, aku harus dibuat takut sekali lagi. Aku sudah terbiasa dengan kehadiran Rayan, dan kalau semua akan berubah, kurasa aku akan menjadi orang yang sangat-sangat menyedihkan. Namun, aku juga sadar, semua terjadi karena kesalahanku sendiri.

Indera pendengaranku menangkap suara motor Rayan. Entah kenapa, yang tadinya sangat kunantikan, kali ini malah sebaliknya. Aku menjadi tidak siap untuk berbicara dengannya.

Aku menghela napas, berusaha menenangkan diri dan melawan ketakutan serta ketidaksiapanku.

Segeralah kuberanjak, lalu berjalan keluar dari kamarnya.

"Tapi kayaknya bukan ide yang buruk buat bicara sama Rayan di balkon kamarnya," kataku yang tiba-tiba saja berubah pikiran.

Maka aku pun tak jadi keluar. Kuputuskan untuk kembali ke tempat duduk tadi, dan menunggu Rayan di sini.

Beberapa menit kemudian, kudengar langkahnya memasuki kamar ini. Namun, dia pasti tidak tahu keberadaanku, karena aku di balkonnya.

Temui sekarang apa nanti dulu, ya?

Hmm, nanti dulu deh. Biarin dia ganti baju dulu.

Aku pun kembali memandang langit. Sambil menunggu waktu yang tepat untuk menunjukkan keberadaanku padanya.

Klek

Pintu balkonnya terbuka. Dan Rayan terlihat kaget melihatku di sini—begitu pula diriku.

Cukup lama kita saling berpandangan satu sama lain, sampai akhirnya Rayan membuka percakapan, "Sejak kapan di sini?"

"Baru aja. Maaf, karena udah masuk gitu aja."

Rayan diam. Setelah itu dia duduk di sebelahku.

Harus mulai dari mana, ya? Aku bingung.

"Jadi, apa yang mau diomongin?" tanyanya yang berhasil membuatku semakin bingung untuk memulai dari mana.

"Itu ...." Aku menelan saliva. "Maaf ...."

Rayan tertawa kecil. "Terus? Jadi cuman mau bilang maaf?"

Jawabannya cukup membuatku terkejut. Ini sudah jelas menunjukkan bagaimana tidak bersahabatnya dia padaku sekarang.

Aku menghela napas. "Aku mau tanya sesuatu sama kamu."

"Hm?"

"Kira-kira, apa aku bisa memperbaiki semuanya? Apa ada kesempatan buatku berusaha supaya kamu nggak marah dan kesal lagi?"

Cukup lama dia diam. Sampai beberapa menit kemudian dia menjawab, "Entahlah. Aku nggak tau."

Di saat begini, kamu membuatku bingung harus gimana, Yan. Jawaban yang benar-benar nggak aku harapin.

"Meski kamu tau keadaanku sekarang kayak gimana, jawaban itu masih berlaku?"

Rayan menoleh padaku. "Why not? Bukannya aku juga baru tau tentang ini?"

Ucapannya berhasil melukaiku.

Aku tersenyum kecil. "Kupikir kamu bakalan ada dan menjadi orang utama yang ngebantu aku, Yan. Tapi ternyata ... kamu bahkan nggak peduli dengan ucapan kamu barusan. Padahal kamu tau gimana terlukanya aku atas kepergian orang-orang berhargaku."

"Jadi maksudnya semua salah aku? Gitu?"

"Nggak. Maksudku nggak gitu."

"Lalu?"

"Maksudku, apa kamu nggak mau nyoba liat dari sudut pandangku? Kejadian itu terlalu sensitif dan menyakitkan, Yan. Nggak semudah itu membaginya dengan orang lain, karena aku butuh keberanian yang lebih."

"Aku orang lain di matamu? Kita kenal udah Sembilan tahun, Zi. Masih nggak cukup?"

"Jadi apa maumu, Rayan?"

Dia diam. Matanya masih beradu pandang dengan mataku. Kali ini, tatapannya berbeda. Di sana tak kulihat sisi perhatian dan pedulinya Rayan selama ini. Dan yang ada hanyalah kekosongan yang seperti memintaku untuk menjauh darinya.

"Untuk sekarang kita nggak perlu ketemu dulu, ya. Aku butuh sendiri," jawabnya kemudian beranjak dari kursi.

Aku tersenyum miris. Mungkin seharusnya aku masih punya harapan untuk memperbaiki ini. Namun, rasanya hatiku tak mau. Di sana, jauh di dalam sana dia memintaku untuk pergi. Tinggal lebih lama di sini sama saja dengan memperdalam lukaku. Setiap hari akan melihatnya, tetapi tak bisa berbincang dengannya. Itu adalah hal yang menyakitkan.

Maka, malam ini kuputuskan untuk mengakhirinya.

Setelah keputusan yang begitu kuat itu tiba, aku pun beranjak—menuju kamarku.

Saat melewati Rayan yang sedang memainkan ponsel di kasurnya, rasanya aku menjadi begitu rindu padanya. Padahal, ini baru sebentar.

Klek

Aku sudah keluar dari kamar orang yang amat kusayangi. Dan mungkin ini adalah kali terakhirku memasukinya.

Aku tak dapat menahan tangis. Air mataku akhirnya jatuh tepat di depan pintu kamarnya. Salah satu hal yang tak pernah kubayangi sebelumnya telah menimpaku. Ya, aku kehilangan Rayan. Tak ada lagi Rayan yang selalu ada dan berusaha ada untukku. Tak ada lagi Rayan yang akan menemaniku di saat dunia begitu menyakitkan. Tak ada lagi kekonyolannya yang selalu dia usahakan ada—setiap kali kita bertemu.

Setelah itu, aku pun segera menuju kamar. Malam ini, aku harus mempersiapkan semuanya.

Tentang pamit kepada ayah dan ibu, sepertinya tak perlu. Biar besok saja kulakukan secara tiba-tiba.

RENGKAH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang