Ziya
Sudah hampir dua minggu aku tinggal di sini. Banyak kejadian aneh yang menimpa diriku—tepatnya berasal dari rasa takutku.
Awalnya semua biasa saja, aku berusaha adaptasi dengan kepergian ibu. Namun, semakin bertambahnya hari, rasa takutku semakin bertambah. Aku yang biasanya dekat dan akrab dengan Ayah Rayan, sekarang menjadi pengecut yang selalu takut setiap melihatnya. Bayangan tentang kejinya ayahku dulu semakin sering menghampiri—sampai rasanya aku ingin menyakiti diriku sendiri.
Semua orang di sini bingung dengan tingkahku, mereka tak tahu harus menghadapiku seperti apa. Aku berusaha menghindari perkumpulan orang rumah, dan mengurung diri di kamar. Selama seminggu ini aku tak lagi masuk kuliah, rasanya benar-benar menakutkan.
Pagi ini aku bangun dengan keringat dingin lagi, tak lupa teriakan pun kulakukan. Ayah, bisakah kau berhenti menghantui pikiranku? Tak cukupkah semua yang kau lakukan padaku dan ibu dulu?
Tanganku gemetaran. Rasanya setiap hari energiku dikuras oleh kegelapan ini.
"Ziya? Udah bangun?" teriak Rayan dari balik pintu. "Aku masuk boleh?"
Segera kuperbaiki rambutku yang berantakan. "Iya, masuk aja."
Rayan masuk. Matanya seperti menyelidikiku, lalu dia pun duduk di tepi kasur.
"Mimpi buruk lagi?"
Aku diam dan menunduk. Sungguh, aku tak mau Rayan serius begini. Aku ... aku belum siap untuk membagikan kisah menyedihkan dan memalukan ini padanya.
"Ziya, jujur sama aku, kamu kenapa? Belakangan ini kulihat kamu selalu menghindari mama sama ayah. Ada apa?"
Pertanyaannya membuatku semakin bungkam. Aku tak dapat lagi menutupi tanganku yang gemetaran. Perlahan, Rayan mendekatkan tubuhnya ke arahku. Kurasakan tangannya mengelus dengan lembut kedua tanganku. Genggaman ini terasa menyakitkan, sebab aku telah membuatnya khawatir dengan terus diam dan tak jujur padanya.
"Baik. Aku nggak mau maksa kamu, Zi. Maaf, sudah bikin kamu gemetaran," katanya dengan suara yang begitu halus. "Tapi bolehkah kamu menatapku? Jangan takut, Ziya."
Kini tangan kanannya berpindah ke daguku. "Lihat aku, Zi."
Mataku pun bertemu dengan matanya. Cukup lama kita beradu pandang. Dan sekarang tangannya membelai rambutku, helai demi helai diletakkannya ke belakang telingaku. Kurasakan jarak di antara kami semakin dekat—bahkan embusan napasnya berhasil mengalir di telingaku.
Air mataku jatuh. Rayan terkejut, tetapi setelahnya kudekatkan wajahku kepadanya. Ya, aku telah mengecup bibirnya.
Suasana pun menjadi canggung. Kita terdiam, dan masih saling bertatapan satu sama lain.
"Kamu lucu," ucapnya diiringi dengan senyum meledek. Itu berhasil membuatku membuang muka, aku merasa malu.
Sadar dengan kesalahtingkahanku, Rayan menarik secara perlahan tubuhku ke dalam pelukannya. "Itu ciuman pertamamu, kan?"
Degup jantungku semakin kencang, begitu pula rasa maluku, aku benar-benar malu. Dan apa yang dilakukan Rayan setelahnya? Dia tertawa kecil.
"Rayan diam! Jangan ketawa gitu, aku malu!"
Bukannya diam, tawanya malah semakin kencang. "Jarang-jarang tau liat kamu salah tingkah gini. Ditambah belakangan kan kamu cuek banget, aku jadi kangen."
Aku tersenyum kecil. Suara Rayan mendadak terdengar lebih manis.
Dia pun melepaskan pelukan, tetapi tangannya melingkar di pinggangku. Aku bingung, apa yang dipikirkannya sekarang, dan apa yang akan dilakukannya setelah itu.
Lagi, wajahnya semakin mendekat. Kontan saja kututup mataku.
"Aku cinta Ziya," katanya. "Udah aku cium, gih buka matanya."
Saat kubuka mataku, Rayan tertawa lagi. "Lucu banget heran."
Aku memukulnya, lalu menjawab, "Kamu rese!"
"Iya-iya aku rese iya. Maaf, tadi aku mau nyium bibir kamu, tapi tiba-tiba aja berubah pikiran." Tangannya pun mengacak-acak rambutku. "Aku kan cinta Ziya, makanya kucium keningnya."
Sial. Aku tak bisa menahan senyuman. Dan Rayan semakin menggodaku, dia mencubit pipiku yang sudah memanas sedari tadi.
"Mau refreshing bentar nggak? Kita lama nggak makan-makan di luar."
"Hm ...."
"Ish, pakai mikir segala. Ayo, mau ya ya?" katanya dengan nada memelas.
Aku pun menjitaknya. "Nggak usah sok imut gitu."
Dia terkekeh. "Habisnya kamu nggak langsung jawab iya. Mau, kan?" tanyanya sekali lagi.
Sebenarnya aku masih belum siap untuk keluar rumah, tetapi tak mau membuat Rayan semakin bertanya-tanya tentang yang kutakuti. Aku pun mengangguk, dan dia tersenyum semringah.
"Dadah, cogan mau siap-siap dulu," pamitnya dengan lambaian tangan lalu berlari kecil.
"Ngeselin."
Setelahnya aku segera bersiap-siap. Lalu bertemulah diriku dengan hal yang belakangan ini tak kusenangi. Aku benci melihat diriku di kaca, rasanya seperti melihat perempuan menyedihkan yang begitu payah dan pengecut. Seandainya di rumah ini hanya aku sendiri, mungkin cerminnya akan kupecahkan. Namun, sekuat mungkin kutahan, agar tak membuat mama, ayah, dan Rayan kepikiran dengan tingkahku.
Aku langsung menghindari cermin, dan memilih memakai bedak tanpa harus melihat wajahku di sana.
Usai menghadapi ketidaksukaanku, aku mengambil sling bag warna cokelat, lalu membuat hp dan dompet di sana.
"Rayan udah siap belum, ya."
Tak mau bertanya-tanya, kuputuskan keluar kamar dan menuju ruang tamu.
Namun, langkahku spontan terhenti. Di sana ada ayah dan ibu. Aku memundurkan langkah, dan bergegas menjauh—takut mereka melihat dan memanggilku.
"E-eh." Aku terkejut, Rayan di belakangku. Dia meringis karena kuinjak kakinya. "Maaf, aku nggak liat."
Senyuman kecil mengembang di wajahnya. "Nggak pa-pa. Ayo berangkat," ajaknya kemudian kutahan pergelangan tangannya.
Alisnya terangkat, pertanda bertanya ada apa.
Aku pun berbisik, "Aku belum siap bersalaman dengan ayah dan ibu."
Cukup lama Rayan diam, aku sudah gugup dan takut dia marah. Aku pun menunduk, lalu memegangi kuku-kuku di kedua tangan.
"Nanti aku salaman sama mereka. Kamu pertama ikut dulu buat mendekat ke mama sama ayah. Setelah itu aku minta kamu buat ambilin kunci motor. Kuncinya aku taroh di meja makan. Pas kamu udah ngambil kunci, aku langsung nunggu di depan pintu. Oke?"
Aku mengangguk. Kupikir Rayan akan marah dan kesal, lalu membatalkan rencana untuk makan di luar.
"Ayo," ajaknya. Kuikutilah langkahnya.
"Ma, Yah, aku mau jalan bentar sama Ziya." Rayan semakin mendekat ke mereka. Tanganku sudah mulai gemetaran. "Oh iya Zi, ambilin kunci motor dong, di meja makan."
Langsung saja aku berjalan mengambilnya. Saat sudah kuambil, Rayan menungguku di dekat pintu, posisinya masih di ruang tamu.
"Udah kuncinya?" Aku mengangguk. "Mama, Ayah, berangkat ya. Assalamualaikum."
"Assalamualaikum," kataku mengikuti Rayan.
"Waalaikumsalam." Mereka menjawab bersamaan.
"Yuk." Rayan menggenggam tanganku, dan kita pun keluar.
Saat menaiki motor, Rayan berkata, "Walau tadi kubilang nggak mau maksa kamu buat cerita, aku masih berharap kamu mau membaginya, Zi."
Aku diam. Tak tahu ingin menanggapi bagaimana.
Motor pun melesat dengan pelan. Bersama ramainya orang-orang, pikiranku dihantui kebimbangan dan keraguan. Aku menyenderkan kepalaku di bahu Rayan, lalu memejamkan mata.
Tuhan, beri aku keberanian untuk membagikan kisah ini kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RENGKAH (TAMAT)
Teen FictionZiya pernah merasa aman. Namun, keamanan itu hanya sesaat. Sosok yang ia percayai telah menimbulkan trauma di dalam dirinya. Meski menyakitkan, Ziya berhasil mengatasi itu semua. Sebab di rumahnya ada dua orang yang selalu memberikan kasih sayang un...