6. Jangan Pergi

12 3 2
                                    

Ziya

Aku segera mengusir Rayan, menyuruhnya kembali ke kampus. Awalnya dia mau langsung ke rumah, tetapi kontan saja kujitak dahinya. Dia sempat meringis, dan aku tertawa melihatnya. Perlu kuberitahu, bahwa sekarang tanganku sudah tidak gemetaran lagi.

Sepanjang jalan tadi Rayan mengejekku yang ingin boker, dan ada-ada saja tingkahnya yang membuatku tertawa. Tanpa disadari, dari kekonyolan itu aku merasa lebih baik.

Setelah Rayan pergi, aku mengembuskan napas dengan kasar. Rasanya seperti pengecut, ketakutan ini membuatku menjadi kacau. Aku marah, tetapi aku tidak bisa apa-apa. Seolah-olah seperti dikutuk masa lalu yang begitu ingin menghancurkanku. Dan aku tak punya senjata atau tameng yang kuat untuk menghalaunya.

Prang!

Aku terkejut. Maka segeralah kuberlari menuju pintu rumah. Di sana kusaksikan ibu sedang menangis sembari menutupi telinganya. Aku panik dan khawatir. Setelah itu kucoba mendekati ibu, sambil melihat-lihat pecahan kaca di lantai.

"A-aw!" Mataku melewatkan satu beling, dan itu berhasil melukai kakiku.

Selagi fokus mencabut beling, mataku lagi-lagi melewatkan sesuatu. Ibu sudah memegang salah satu pecahan kaca, dan itu berhasil membuatku takut. Bukan takut karena traumaku, tetapi karena aku tak mau kehilangan sosok yang paling berharga di hidupku.

"I-ibu mau apa? Sini kasih aku, biar aku buangin," kataku sembari mengulurkan tangan.

"Jangan mendekat. Ibu mau ketemu Harri."

Aku menggeleng keras. "Nggak. Ibu gak boleh gitu. Harri nggak akan suka dengan yang ibu lakuin."

"Ziya ...." lirih ibu yang menatapku dengan tatapan kosong. "Ibu sudah tiada semenjak Harri tiada."

Aku terdiam. Kalimat ibu terasa seperti sayatan tajam yang menelan kekuatanku secara perlahan.

"Ibu rindu Harri," lanjut ibu diiringi raungan yang persis seperti di rumah sakit.

Beling itu semakin dekat dengan nadi di pergelangan tangan ibu. Aku menjerit, memohon agar ibu berhenti. Namun, sepertinya percuma. Beling itu sudah menggoresnya, dan darah pun bercucuran ke lantai.

Awalnya aku sempat menyerah, tetapi ada sisi lain yang mendorongku untuk bergerak--bergegas menolong ibu. Kakiku yang mulai lemas, kupaksa untuk menopang tubuhku mendekati ibu. Tanpa pikir panjang, kusobek bagian bawah bajuku, lalu menahan pendarahan ibu dengan melilitnya di pergelangan tangan.

Ibu mulai lemah, dan menit berikutnya kesadaran ibu hilang.

***

Kini aku kembali lagi ke tempat mengerikan ini. Tempat di mana Harri berjuang melawan sakitnya, bertahan karena harapan yang ada, dan pergi sebab Tuhan merindukannya.

Sudah hampir dua jam ibu tak kunjung sadar. Dan selama itu juga air mataku jatuh. Kehadiran ibu seperti tanggung jawab satu-satunya yang harus kulakukan, yaitu menjaganya dan membuatnya bahagia. Kalau ibu pergi, lalu apalagi yang tersisa untukku? Aku tak pernah menyayangi diriku sendiri, jadi untuk apa aku peduli pada diriku sendiri jika sudah tak ada siapa-siapa lagi?

Aku menelungkupkan kepala di samping tangan ibu yang dipasang infus. Kuelus-elus tangannya dengan harapan dapat membuat ibu segera sadar.

Sambil menunggu ibu, aku kembali memutar ingatan saat tadi membawa ibu ke sini. Syukurnya ada Rayan di hidupku, kapan pun kubutuh, Rayan akan datang dengan cepat. Tadi dia kupaksa balik ke rumah, sebab sempat ditelepon ibunya karena ada masalah lagi antara kakak dan ayahnya. Aku tersenyum samar, entah harus membalas seperti apa, yang jelas bantuan Rayan kali ini benar-benar melekat di dalam diriku.

RENGKAH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang