Rayan
Pagi ini gue bangun dengan semangat yang menggebu. Eh bentar, kayaknya bukan pagi deh. Gue bangun sebelum Subuh, sumpah ini langka banget. Biasanya paling cepat gue bangun pukul 04.30, itu pun kalau nggak karena alarm atau diteriakan sama kanjeng ratu alias mama.
Aneh banget, padahal udah biasa ketemu Ziya pagi-pagi kayak begini. Tapi nggak tau kenapa kali ini kesannya berbeda. Mungkin karena jiwa pesimis gue mulai memudar kali, ya? Gue mulai percaya diri lagi, kalau ibu bakalan maafin gue dan kita kembali seperti biasanya. Sambil menyisir rambut, gue tersenyum lebar banget di depan kaca. Pokoknya tingkat kegantengan gue kelihatan nambah aja gitu. Eits apa? Mau protes? Otidak bisa, ini valid no debat.
Kelar ngurusin rambut, gue mengenakan jaket item andalan. Lalu berkaca sekali lagi—memastikan apakah udah rapi atau belum.
"Rayan! Mama udah siap, cepatan!"
"Iya-iya, Ma, bentar!" jawab gue yang mendengus kesal. Lagi menikmati muka gue juga, eh diminta cepat-cepat.
"Hp gue mana, ya?"
Ke sana-kemari gue nyariin tu benda. Sampai akhirnya gue sadar, kalau ponselnya gue charger di bawah.
"Begok." Gue langsung ke bawah, buru-buru sebelum ibu negara marah.
"Lamanya. Kamu dandan, ya?"
"Pertanyaan Mama nyebelin banget. Orang kalau mau jalan ya pasti siap-siap, au ah."
Mama tertawa. "Iya-iya nggak usah marah gitu. Yuk, entar keburu Ziya nggak ada di rumah."
"Ziya kuliah pagi jam delapan nanti. Masih sempat," sahut gue sambil menaiki motor.
"Cie tau. Mama naik, ya."
"Ngapain nanya kalau langsung naik juga, Maaa."
Mama terkekeh. Setelah itu motor gue pun melesat di jalanan.
Saat tiba di depan rumah Ziya, mama memukul gue. "Kamu ini, bawa Mama kayak mau balapan aja," keluhnya. "Awas aja pas pulang nanti ngebut lagi, Mama potong uang bulanan kamu."
"Ha? Iya-iya nggak lagi. Mama cantik banget pagi ini."
"Bisa aja. Udah, ayo masuk."
Mama yang memimpin. Aku ngekorin di belakang, sambil menimbang-nimbang gimana respons ibu nanti.
"Assalamualaikum ...."
"Ziya? Ini Mama sama Rayan," lanjut mama yang merasa nggak ada jawaban.
"Tumben banget Ziya nggak gercep bukain pintu." Gue pun mengetok-ngetok pintunya. "Zi? Ini aku."
"Coba telepon, Rayan. Siapa tau Ziya masih tidur, jadi nggak kedengaran ini kita ngetok."
"Bentar."
Dengan semangat gue pun menelepon Ziya. Dan dari sini, gue sama mama bisa mendengar jelas suara ponselnya berdering di dalam rumah.
"Itu hp-nya bunyi. Tapi kok nggak dijawab, ya?" kata mama yang sama bingungnya dengan gue.
"Permisi ...."
Kontan gue pun menoleh ke sumber suara. "E-eh iya, Bu?"
"Ini Adek mau nyari Ziya, ya?"
"Iya, Bu."
"Tadi malam saya sama suami nganterin ibunya ke rumah sakit."
Deg!
"Jadi mereka di rumah sakit? Kalau boleh tau di rs mana, ya, Bu?"
Mama udah mulai keliatan panik. Dia megangin tangan gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
RENGKAH (TAMAT)
Teen FictionZiya pernah merasa aman. Namun, keamanan itu hanya sesaat. Sosok yang ia percayai telah menimbulkan trauma di dalam dirinya. Meski menyakitkan, Ziya berhasil mengatasi itu semua. Sebab di rumahnya ada dua orang yang selalu memberikan kasih sayang un...