10 tahun kemudian.
Aku tertawa kecil menyaksikan Lira dan Liri yang berlari-lari di halaman. Mereka terlihat menikmati permainan--ditambah Randy yang begitu girang menemani mereka bermain.
Bersamaan dengan kesenangan ini, aku merindukan seseorang. Rindu dengan sosok nyatanya, rindu dengan suaranya, rindu dengan tingkahnya, dan rindu dengan segala tentangnya.
Aku menghela napas. Mataku meratapi langit biru yang begitu menawan di sore ini. Lalu aku teringat dengan pertanyaanku pada Tuhan waktu itu.
Mengapa semua orang pergi? Apakah aku begitu buruk, hingga mereka tak sanggup lama-lama berada di sisiku?
Kupikir setelahnya tak akan lagi aku mengulangi pertanyaan itu. Namun, ternyata takdir berkata lain. Tepat lima tahun yang lalu, aku kembali mempertanyakan itu semua--bahkan hingga kini pertanyaan itu masih menggema di telingaku.
Rayan, kenapa kamu juga pergi? Waktu itu rasanya sangat menyenangkan, karena kita tidak jadi menjadi asing. Tapi pada akhirnya kamu meninggalkan aku. Rayan, aku mau lihat raga kamu lagi.
Tanpa kusadari, air mataku jatuh. Namun, secepat mungkin kuhapus, karena takut Randy dan anak-anak melihat.
"Seandainya kamu masih ada, mungkin kamu akan sangat bangga dan bahagia melihat pertumbuhan dan perkembangan anak kembar kita, Yan," lirihku yang diiringi senyuman hambar.
"Randy, maafkan istrimu ini, karena masih merindukan mantan suaminya yang telah tiada."
KAMU SEDANG MEMBACA
RENGKAH (TAMAT)
Teen FictionZiya pernah merasa aman. Namun, keamanan itu hanya sesaat. Sosok yang ia percayai telah menimbulkan trauma di dalam dirinya. Meski menyakitkan, Ziya berhasil mengatasi itu semua. Sebab di rumahnya ada dua orang yang selalu memberikan kasih sayang un...