Rayan
Gue pinjam mobil ayah. Pagi ini gue dapat kabar kalau ibu sudah bisa balik, seneng banget rasanya. Tapi setelah itu gue teringat, kalau sekarang hubungan gue sama ibu lagi nggak baik-baik aja. Dan gue udah kehilangan optimis gue, kayaknya udah nggak mungkin lagi semua kembali seperti dulu. Gue udah terlanjur bikin ibu marah, walaupun sebenarnya gue nggak salah apa-apa.
Embusan napas dengan kasar gue lakuin. Setelah cukup menenangkan diri, gue pun nyalain mobil, udah siap bergegas menuju rumah sakit.
"Setelah ngantar Ziya sama ibunya, langsung pulang," peringat ayah melalui kaca mobil.
Iya, ayah tahu tentang perang dingin ini. Gue nggak bisa bohong, karena biasanya setiap minggu ortu minta gue telepon ibu Ziya. Dan belakangan ini udah nggak bisa lagi. Awalnya gue bilang ibu lagi sibuk, tapi lama-lama mama curiga. You know-lah, gimana kuatnya feeling seorang wanita. Kalah dah gue, nggak bisa lagi bohong.
Gue pun berangkat, takut Ziya marah karena kelamaan nungguin. Dan sebelum itu, gue klakson ayah, pertanda dadah.
Tiba di sini, gue udah melihat Ziya dan ibunya nunggu di parkiran. Waduh. Gercep juga mereka.
Pas gue samperin, ibu kayak kaget. Gue bingung dong, terus melirik ke Ziya, ngasih isyarat, Ada apa?
"Ayo, Bu, kita pulang," ajaknya yang langsung memegang tangan ibu.
Saat Ziya tarik, ibu menahannya dan melepaskan pegangan. Gue makin kebingungan.
"Kamu bohong. Katanya sama go car, kenapa ada dia?"
Gue paham sekarang. Pantas ibu tadi kaget melihat kehadiran gue.
"Maafin Ziya. Kalau nggak gitu, ibu gak bakal mau keluar."
"Sama aja. Kalau pun Ibu keluar, Ibu gak akan mau masuk ke mobilnya."
Helaan napas gue lakuin. Kali ini gue bingung gimana cara ngebujuk ibu. Karena udah buntu, nggak tau harus gimana, gue pun nyuruh Ziya bukain pintu mobil.
"Kekunci tau!" teriaknya dari sana.
Gue terkekeh, lalu melempar kunci mobil. "Buruan!"
Bisa gue lihat Ziya mendengus kesal. Lucunya. Seandainya nggak ada ibu, mungkin gue bakal nyubit pipi dia. Ya kali gue nyubitnya di depan ibu yang jelas-jelas masih marah sama gue.
Setelah sudah dibuka Ziya, gue pun menggendong paksa ibu. Sumpah, ya, walaupun ibu habis dari sakit, jambakannya ke rambut gue kuat banget. Rasanya udah kayak mau lepas aja ini rambut. Tapi gak pa-pa, latihan buat masa depan. Siapa tau nanti pas gue udah punya istri, gue kebal sama beginian.
Cukup histeris Ziya berteriak menyemangati gue. Gue rasa orang-orang di parkiran pada bingung melihat gue yang udah kayak penculik.
Setelah perjuangan yang lumayan, ibu pun berhasil gue dudukin di mobil. Ziya bergegas masuk buat menahan ibu agar nggak keluar. Gue buru-buru masuk mobil, biar bisa ngunciin pintunya.
Pas gue udah masuk, ibu menjitak kepala gue. "Kamu ini kurang ajar! Berani-beraninya lancang begitu sama Ibu!"
Gue bingung harus ketawa apa merasa bersalah. Soalnya tiap gue ngingat kejadian tadi, bawaannya pengin ketawa sepuas-puasnya. Apalagi kalau keingat ekspresi Ziya pas gue gendong ibu, sumpah histerisnya jelek banget, tapi gemas. Wkwkwk. Dah ah, mending gue fokus ke jalanan.
Selama hampir 45 menit gue mendengarkan celotehan Ibu, akhirnya sampai di depan rumah. Tanpa aba-aba lagi, Ibu sudah keluar begitu aja. Bisa gue lihat gimana marahnya Ibu sama gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
RENGKAH (TAMAT)
Teen FictionZiya pernah merasa aman. Namun, keamanan itu hanya sesaat. Sosok yang ia percayai telah menimbulkan trauma di dalam dirinya. Meski menyakitkan, Ziya berhasil mengatasi itu semua. Sebab di rumahnya ada dua orang yang selalu memberikan kasih sayang un...