Ziya
Setelah ibu keluar dari rumah sakit, aku merasa harus benar-benar menjaganya. Raut wajah ibu yang muram, membuat tekadku semakin besar—diiringi dengan ketakutan yang cukup kuat. Kuputuskan malam ini untuk tidur di kamar ibu, agar rasa khawatirku bisa mereda dan terobati.
Pukul 19.00 WIB, jam di mana biasanya aku, ibu, dan Harri makan malam. Dan malam ini, suasananya berubah drastis, pertengkaranku dengan Harri di meja mekan sudah tak bisa terulang lagi. Tak mau larut dalam kenangan itu, aku bergegas menuju dapur.Pertama, kulihat isi kulkas. Di sana ada ayam yang kubeli beberapa hari lalu. Karena bingung akan memasak apa, aku pun memilih membuat bubur ayam. Ditambah melihat keadaan ibu sekarang yang jarang makan, sepertinya bubur adalah pilihan terbaik.
Sembari menunggu beras yang sudah dibuat air dan garam di panci mendidih, aku memeriksa kamar ibu sebentar. Di sana kulihat ibu sedang duduk di depan jendela yang masih terbuka. Aku menghela napas, lalu berjalan menghampirinya.
"Aku tutup jendelanya, ya, Bu. Anginnya kencang banget, nanti masuk angin."
Ibu tak menanggapi.
Setelah menutup jendela, aku pun kembali ke dapur—melanjutkan memasak bubur.
Sekitar hampir sejam berkutat dengan pekerjaan dapur, akhirnya bubur pun jadi.
"Ibu, aku suapin, ya. Pokoknya Ibu harus makan," ucapku yang baru memasuki kamar, seraya membawa nampan makanan.
"Ibu nggak nafsu."
Aku duduk di samping ibu. "Tiga suapan aja, ya? Asalkan ada makan."
Ibu tak menjawab, maka aku mulai beraksi. Kuraih sesendok, lalu didinginkan sebentar.
"Ini, aaa."
Ibu menggeleng. Dan ini sedikit melukai perasaanku.
"Ibu." Kuletakkan kembali sendok di mangkok. "Aku bikinnya dengan penuh semangat, Ibu nggak mau nyicipin masakan aku?"
Wajah cemberut kupasang dengan sengaja. "Mau, ya? Ya ya ya?"
Karena tak ada jawaban, kucoba lagi menyuapi ibu. Kali ini ibu tak menolak suapan dariku. Aku tersenyum lebar.
"Enak, kan? Tadi aku bikinnya sambil joget-joget, lho, Bu."
Setelah empat suapan, ibu meminta minum. "Ibu sudah kenyang," katanya lalu meminum air yang kuberikan.
Aku mengangguk kecil. Ini sudah ada perkembangan, daripada tidak makan sama sekali.
"Malam ini aku tidur sama Ibu."
Sepertinya ibu sedikit kaget. Namun, setelah itu dia kembali minum—tak menjawab ucapanku.
Karena sudah selesai menyuapi ibu, aku pun ke dapur—meletakkan mangkok bekas bubur ke tempat cuci piring.
"Cuci besok apa sekarang, ya?" tanyaku yang antara malas dan rajin. "Sekarang aja deh. Besok ada jam pagi."
Tak lama setelah itu, aku mendengar raungan ibu dari kamar. Tanpa pikir panjang, aku langsung lari karena khawatir.
"Ibu! Kenapa? Ada apa?" kataku sembari memegangi tubuh ibu, memeriksa apakah ada yang terluka.
Dan saat melihat pas foto Harri yang dipeluk ibu, aku pun paham apa yang membuatnya menangis. "Ibu rindu Harri?"
Masih dengan air mata yang berjatuhan, ibu tak menjawab. Kuputuskan untuk memeluknya.
"Jangan peluk Ibu. Ibu mau sendiri," tolaknya padaku.
Aku terdiam. Rasanya menyakitkan. "Nggak. Aku temenin Ibu di sini. Ibu nangis aja, tapi aku tetap di sini."
"Ibu mau sendiri!" Aku terkejut. "Keluar. Jangan ganggu Ibu!"
Mendengar itu, rasanya aku mau marah. Namun, kucoba tahan sekuat mungkin lalu beranjak dari dudukku.
Air mataku pun jatuh. Seperti ada perasaan kesal yang dipadu kecewa. Aku jadi bertanya-tanya, di mata ibu aku ini apa, ya? Sampai-sampai ibu tidak mau melihat rasa sayangku padanya? Sampai dia terus-terusan menganggapku sudah bisa tanpanya.
"Harri, di sini Kakak rindu sama Harri. Kepergian Harri telah mengubah banyak hal."
Karena tak nyaman berdiri di ruang tamu, aku melangkah menuju teras rumah.
"Dinginnya."
Tapi entah kenapa aku tetap memilih duduk di sini. Rasanya sejuk, menusuk, dan suasana yang tepat untuk hati yang sedang tidak baik-baik saja.
Bersama dengan semua rasa itu, tubuhku seperti dihimpit oleh kegelapan yang menyakitkan. Mendadak semua yang pernah terjadi di masa lalu terputar di pikiran. Mereka datang secara bersamaan, lalu menghantam tubuhku.
Aku langsung mengangkat kaki ke kursi, lalu memeluk kedua lututku seperti orang ketakutan. Lama kulakukan hal tersebut, sembari menelungkupkan kepala di antara kedua lutut. Tangisanku semakin membuncah di sana. Sampai beberapa menit kemudian, pendengaranku menangkap bunyi air profil tank yang penuh. Bunyi itu telah menyelamatkanku—membuyarkan seluruh ingatan lama yang menyerangku malam ini.
Setelah itu aku pun bergegas ke halaman belakang, untuk mematikannya.
Letak profil tank berdekatan dengan kamar mandi dan wc. Untuk ke sana, aku harus membuka pintu belakang.
Usai mematikannya, aku kembali menutup pintu.
Ceklek
Beberapa langkah dari pintu, aku merasa aneh. Meski pandanganku lurus ke depan, aku tetap bisa melihat benda-benda di samping—meski hanya sekilas. Maka, saat menoleh ke kamar mandi, aku menyaksikan peristiwa yang amat menyakitkan.
Tangisku langsung pecah kembali.
"IBU ...!" Aku berlari, segera menghampiri ibu yang terkulai lemah di lantai.
"IBU BANGUN! IBU HIKS ...."
Tak mau larut dalam tangisan ini, aku berusaha melakukan hal yang sama—saat ibu melukai pergelangan tangannya beberapa hari yang lalu. Setelah mengikat kain di sana, aku pun berlari ke luar rumah.
TOK TOK TOK
"Bu Nisa! Assalamualaikum, Ibu ...! Bu!" Aku berteriak sembari menggedor-gedor rumahnya.
Pintu rumah terbuka. "Waalaikumsa—ya ampun Ziya! Ada apa? Kenapa menangis begitu?"
"Ibu ... tolong saya. I-ibu harus dibawa ke rumah sakit. Pergelangan tangan ibu ... hiks ... tolong saya, Bu. Antarkan ibu saya ke rumah sakit," ucapku terbata-bata karena masih shock.
Segeralah Bu Nisa memanggil suaminya, lalu mengajaknya ke rumahku.
Malam ini, aku telah dihantam kenyataan. Aku tak bisa berhenti menangis. Bahkan saat melihat ibu diangkat menuju mobil, aku hanya diam. Rasanya lelah, kakiku lemas. Untungnya, Bu Nisa menyadari ketidakberdayaanku untuk melangkah. Dia menopang tubuhku saat berjalan menuju mobil.
Kini, mobil pun melesat dengan cepatnya. Di dalam mobil ini, aku menyaksikan wajah ibu yang kian memucat. Darah di pergelangan tangannya masih mengalir sedikit demi sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
RENGKAH (TAMAT)
Teen FictionZiya pernah merasa aman. Namun, keamanan itu hanya sesaat. Sosok yang ia percayai telah menimbulkan trauma di dalam dirinya. Meski menyakitkan, Ziya berhasil mengatasi itu semua. Sebab di rumahnya ada dua orang yang selalu memberikan kasih sayang un...