1. Pertanyaan Dariku

140 25 51
                                    

Pada embusan angin aku berkata, "Aku tak apa jika duka terus-terusan menyelimuti ragaku.
Asalkan sumber bahagiaku tak mengalami hal serupa. Sebab jikalau itu terjadi, duniaku akan kembali kelabu dan menyuramkan."

________________________________

Ziya

Sayur, lauk, dan nasi sudah kuletakkan di dalam rantang makanan. Pagi ini rutinitas harianku terasa lebih berat. Selama memasak, pikiranku terbang ke mana-mana, melayang jauh pada hal-hal yang tak semestinya kupikirkan lagi.

Selama sebulan ke belakang, tak pernah lagi alam tidurku dihampiri oleh kegelapan itu. Mimpi yang tak kusukai sempat menghilang. Dan saat ia kembali datang kepadaku, aku tak mempersiapkan apa pun untuk melawannya.

Aku menarik napas sedalam-dalamnya. Kemudian mengembuskan dengan pelan, berharap diriku sedikit lebih baik. Syukurnya itu benar terjadi, aku merasa lebih tenang.

Usai menenangkan diri, aku pun bergegas untuk duduk di teras luar, menunggu kedatangan teman kecilku, Rayan Zefando.

Aku mengenalnya sejak berusia 11 tahun. Pertemuan kita sangat aneh, malah bisa jadi kesan pertama yang memalukan dariku untuknya. Kalau mengingat itu, aku akan menutup wajahku dengan kedua tangan, lalu menggeleng-geleng tak terima atas pertemuan tersebut.

Di usiaku yang sudah 18 tahun, aku sering tiba-tiba melihat Rayan dengan perasaan yang aneh. Rasa senangku saat bersamanya sulit untuk dideskripsikan. Dan setiap kali dia mengantarku pulang, aku akan merasa kehilangan. Rasanya seperti ada sesuatu yang pergi--meski itu hanya sebentar.

Lamunanku dibuyarkan bunyi klakson motornya. Aku beranjak, lantas segera mengunci pintu rumah.

Pagi ini ia terlihat lebih rapi. Entah ingin ke mana, yang kutahu Rayan ada kelas pagi setiap hari Rabu dan Kamis.

"Kenapa?" Dahiku berkerut. Memikirkan maksud pertanyaannya. "Kenapa dini hari tadi gak bales? Kamu cuman ngebaca doang. Terus balesnya baru pagi tadi."

Itu saat aku dihampiri oleh mimpi itu lagi, Yan.

"Zi? Ada apa? Kenapa jadi melamun? Terus muka kamu kenapa pucet gitu? Sakit? Udah minum obat? Atau belum sarapan?"

Aku tertawa kecil. Ini salah satu hal yang kusukai darinya. Setiap kali khawatir, Rayan akan super berisik. Lihat saja, bahkan aku tak diberikan kesempatan untuk menjawab.

"Loh, malah ketawa. Aku serius nanya."

"Gak. Nggak pa-pa. Malem tadi aku kebangun, terus masih dalam keadaan antara sadar sama nggak, makanya cuman dibaca doang." Aku pun menaiki motornya. "Udah nanyanya. Cepet anterin aku ke rumah sakit."

Rayan mendengus.

Setelahnya motor yang kunaiki ini melesat jauh, menjumpai jalan raya yang dipenuhi oleh harapan orang-orang. Harapan agar tak lagi dihampiri hal-hal menyedihkan yang akan menggerogoti diri mereka secara perlahan, yang menusuk hati mereka dengan kenyataan menyakitkan. Harapan untuk menolak keras sebuah luka permanent yang meski sudah dioles rasa senang, ia akan tetap ada, bersama dengan ketajamannya.

Aku lantas memejamkan mata. Menelusuri udara pagi dengan sebuah pertanyaan untuk kehidupan. Bisakah kau jawab aku? Mengapa sebuah pengkhianatan rasanya menyesakkan? Mengapa orang yang kita percaya malah ingin menghancurkan kita? Mengapa?

Hingga aku pun tersadar. Pertanyaanku ternyata tak hanya satu, tetapi tiga. Aku tersenyum samar. Setelahnya aku memeluk Rayan, dengan harap agar kudapatkan ketenangan di sana.

"Zi? What's wrong?" tanyanya yang tak dapat kujawab dengan kalimat apa pun.

Awalnya bisa kurasakan kalau Rayan tampak gelisah dengan diamnya aku, tetapi lama-lama dia mulai membiarkanku larut dalam lamunan.

"Yan," panggilku dengan pelan, yang mungkin tak dapat dia dengar.

"Kenapa?"

"Yan." Sekali lagi kupanggil Rayan, tetapi kali ini lebih keras dari sebelumnya.

"Iya, Ziyaa. Kenapa?"

Aku tersenyum samar. Rayan mulai kesal.

"Rayan."

Dia pun diam, tak mau menjawab.

"Rayan." Aku menopang daguku di bahunya. "Aku capek."

Tak lama setelah ungkapan lelah yang kulontarkan, kurasakan tangannya yang langsung menggenggam tanganku. Aku merasa jauh lebih baik. Sederhana memang, tetapi kehangatannya berhasil membuatku tersenyum dengan lebar.

"Jangan keras-keras, Zi, sama diri sendiri. Jangan pendam semuanya sendiri," ucapnya seraya mengelus pelan jari-jariku. "Kamu udah keras kepala, jadi jangan dikerasin lagi. Mending bobo di bahu Abang."

Plak

"Rese!"

Aku pun tak jadi merasa nyaman, yang ada malah kesal. Dan apa yang dia lakukan selanjutnya? Dia tertawa sangat kencang. Sungguh, Rayan memang menyebalkan.

Usai perjalanan singkatku dengan Rayan, tibalah aku di rumah sakit. Pikiranku bercampur aduk saat menelusuri lorong-lorongnya. Satu sisi aku menaruh harap, agar Harri mengalami peningkatan. Di sisi lain telingaku dibisiki kalimat-kalimat pesimis, yang menyatakan bahwa itu tidak mungkin.

Aku menghela napas. Semua ini terasa percuma, tetapi tak dapat dielak bahwa perasaan cemas sering di luar kendali.

Ruangan cempaka, letaknya di pojok kiri dekat Instalasi Gizi. Di sanalah ruangan adikku, Harri dirawat. Semakin dekat, semakin kupelankan langkahku. Entah kenapa rasanya belum siap untuk melihat wajah Harri. Wajah yang penuh dengan rasa sakit, tetapi sengaja ia tutupi melalui senyuman.

Baru saja dua langkah memasuki ruangan, mataku sudah menyaksikan kejadian yang tak ingin kulihat. Harri mimisan lagi, kali ini diiringi dengan rasa mual yang membuatnya ingin muntah.

Aku terdiam. Air mataku akhirnya jatuh.

RENGKAH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang