03. Perasaan aneh yang terus datang dan menciptakan luka

1.9K 409 24
                                    

Selamat membaca

Aku mendekam di dalam kamar selama tiga hari sebagai bentuk hukuman Maharaja padaku. Ah, bukan Maharaja tapi si Galen. Jelas sekali dia mengkhawatirkanku hingga datang ke sana mencariku. Dia mencintai Maharani tapi suka menyiksannya. Kenapa kisah cinta harus dibaluti konflik kesalahpahaman? Hah, sungguh menyebalkan.

Suara ketukan terdengar dari arah pintu.

"Maharani, izinkan hamba masuk."

Itu Hiera.

"Masuklah."

Hiera masuk dan mendekatiku dengan membawa makanan di nampan.

"Maharani saatnya makan. Masa hukuman Anda akan berakhir setelah makan."

"Kenapa cepat sekali? Ini belum ada seminggu," kataku.

"Karena Anda mogok makan, Maharaja menghentikan hukumannya terlebih lagi Anda harus menjaga kesehatan sebab Yang Mulia Agung akan datang berkunjung menemui Anda," jelas Hiera, padahal aku tetap makan secara diam-diam, lagi pula aku tidak sebodoh itu untuk menyiksa diri.

Lalu, Yang Mulia Agung adalah sebutan bagi ayah dan ibu Galen. Keluarga mereka berada tidak jauh dari kerajaan ini, memiliki kastil yang berada di daerah agak terpencil demi ketenangan sebab Galen telah menjadi Maharaja. Aku sangat penasaran dengan rupa orang tuanya.

"Baiklah," jawabku.

Aku mulai menyantap makanan yang dibawa Hiera. Tidak lama setelah selesai menghabiskan makananku, seorang pelayan datang dan memohon izin untuk menyampaikan pesan.

"Ada apa?"

"Selir kehormatan dan dua selir lainnya datang untuk menemui Anda," ujarnya.

Aku menatap Hiera lalu menyuruhnya menyiapkan gaun untukku. Entah, apa yang direncanakan para nenek lampir itu.

****

Delvina—selir kehormatan, Tyani dan Sleya— selir biasa, itu adalah nama karakter antagonis yang kujuluki nenek lampir.

Ketiga selir itu telah duduk di hadapanku sambil menikmati kue dan teh yang kusajikan untuk menyambut ke datangan mereka. Kami menikmatinya di taman sebab cuaca cerah dan terasa sejuk.

"Apa kau mengkhawatirkanku lagi?" tanyaku.

Delvina mengulas senyum sambil mengangguk, dia benar-benar terlihat seperti wanita lugu yang susah payah menyembunyikan seluruh keburukannya.

"Anda terlihat sangat murung, apakah Anda masih mendengar orang-orang yang berbicara buruk tentang Anda?" tanya Tyani.

"Tidak."

"Kami melihat Anda selalu berjalan sendirian padahal dulu, Maharaja selalu menemani kemana pun Anda pergi," imbuh Sleya, mereka berkomplot untuk menjatuhkanku padahal mereka sudah tahu alasannya.

"Benarkah? Apakah jika aku mau buang air dan sebagainya dia juga akan menemaniku?" tanyaku.

Ketiga selir itu memandangku dengan ekspresi jijik dan kesal karena sepertinya gagal membuatku kesal.

Aria dan Buku Kosong✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang