Jalan-jalan

24 3 0
                                    

     Pernahkah kau berpikir kehidupanmu berubah hanya karena sebuah perkenalan singkat? Atau kau pernah berkhayal tentang seseorang yang selalu ada untukmu, menemanimu, dan membuatmu tertawa bahkan ketika seluruh dunia mencemoohmu?

     Aku pernah bahkan sering mengkhayalkannya. Namun aku tak pernah berharap, barang sedetikpun, untuk benar-benar mengalami apa yang selama ini aku khayalkan.

     Semenjak kejadian di rumahku, Argus terus menempel padaku. Dia tidak menggombal tapi perlakuannya membuatku merasa berbeda, jika tidak boleh menggunakan kata istimewa.

     Tidak, tidak. Kami tidak berpacaran. Kami hanya berteman. Setidaknya itu yang kami jalani.

     Sungguh berbanding terbalik dengan hatiku yang selalu meracau tidak karuan tiap kali berdekatan dengannya.

     "Hei, Althea. Ngelamun apa?" tanya Argus.

     Aku berjengit kaget. "Argus, ngagetin tau" ketusku.

     Argus justru tertawa melihat wajah jutekku.

     "Marah-marah mulu entar cepat tua, lho," goda Argus dengan tawa jahilnya.

     Aku mendengus dan membuang muka pada langit siang yang cerah.

     Argus mengikut lenganku. "Hei, Althea."

     Aku memandangnya malas. "Apa?"

     "Apa kau mau jalan-jalan denganku? Yang lain bisa ikut juga kok," ucapnya dengan pipi yang sedikit memerah.

     Aku menatapnya tanpa kedip. Apakah itu tadi ajakan kencan? Aku langsung menepis pikiran itu jauh-jauh. Pasti hanya ajakan jalan-jalan antar teman.

    "Kemana?" tanyaku tak acuh.

     Argus nampak berpikir. " Aku dengar ada sebuah wisata alam di kota sebelah. Disana juga ada berbagai macam wahana permainan bertema alam. Apa kau mau?"

     Alam? Sudah lama sekali aku tidak berwisata ke alam. Terakhir saat usiaku 5 tahun, beberapa bulan sebelum orangtuaku mengetahui keistimewaan darahku.

     Aku menganggukkan kepala dengan penuh semangat. "Kalau begitu, kita ketemuan di halte bus dekat sekolah, ya. Jam 9," pintaku.

     "Baiklah," jawab Argus dengan senyum lebarnya.

     Keesokan harinya, kami bertemu di halte bus dekat sekolah. Beruntung hari ini bukanlah jadwalku untuk pengambilan darah dan lebih untungnya lagi adalah kedua orangtuaku sedang berpergian ke luar kota jadi mereka menitipkanku pada orangtua Aqila.

     "Hei, nunggu lama?" tanyaku basa-basi padahal ini masih 3 menit sebelum waktu yang dijanjikan.

     Argus menggeleng. "Sendiri?"

     Aku mengangguk. "Qila katanya mager," balasku. Itu kenyataan. Aqila mengatakan demikian saat kuajak tadi. Beruntung orangtua Aqila memperbolehkan ku pergi, mereka sedari dulu tidak pernah satu jalan pikiran dengan orangtuaku.

     "Kamu gak ngajak yang lain?" tanyaku lagi. Padahal dalam hati aku berharap tidak ada yang mau diajaknya.

     Doaku terkabulkan. Argus menggeleng dan mengatakan jika yang lain punya kesibukan tersendiri. Akhirnya kami naik bus dan menuju ke kota sebelah.

     Diluar dugaanku. Perjalanan itu tidak terasa canggung atau tidak nyaman. Argus sangat pandai mencari topik pembicaraan yang membuatku nyaman tanpa mengganggu penumpang lain.

     Tak perlu waktu lama, akhirnya kami tiba di tempat yang ditujukan.

     Aku langsung mengajak Argus mencoba wahana pertama, Flying Fox. Aku berseru senang saat melewati lembah-lembah yang nampak hijau. Juga saat kami melewati Savana yang diisi aneka hewan liar.

     Tak puas hanya mencoba satu wahana, aku pun mengajak Argus mencoba wahana lain. Namun langkahku terhenti saat menyadari Argus yang tak mengikutiku. Aku pun menghampiri Argus yang tengah bersandar pada sebuah tiang lampu.

     "Gus, kamu gak apa-apa?" tanyaku cemas sebab wajahnya terlihat pucat sekali.

     Argus menggeleng, "gak apa-apa kok. Yuk lanjut-"

     Bruk.

     "ARGUS!" teriakku panik. Aku pun bersimpuh di samping tubuh Argus yang tergeletak lemah di atas tanah. Dia memegang perutnya seperti menahan sakit.

     Aku menatapnya cemas. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?

     Aku menatap sekeliling, berusaha mencari pertolongan. Namun tak ada seorangpun. Sekitar kami sepi.

     Aku kembali menatap Argus yang menahan sakit.

     Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Memapahnya hingga ke balai kesehatan? Atau menunggu seseorang datang?

     Sekali lagi aku melihat Argus yang menahan sakit.

     Dengan ragu aku mulai mengalungkan sebelah tangannya pada leherku lantas aku mengangkatnya perlahan.

     Ugh, dia sangat berat! Meski demikian, aku tetap berjalan sembari memapahnya.

     Kami tak saling bicara. Argus terus memegangi perut bagian kirinya sedangkan aku fokus menjaga keseimbangan tubuh pemuda itu agar tidak roboh.

     Untungnya tak lama kemudian aku melihat seorang petugas wisata. Aku segera berteriak memanggilnya.

     "Pak, tolong!" teriakku.

     Petugas itu menoleh ke arahku dan langsung menghampiri kami.

     "Tolong teman saya. Dia tiba-tiba pingsan," pintaku yang sudah tak kuat menahan tubuh Argus.

     Petugas itu paham. Dia mengambil alih tubuh Argus dariku dan memapahnya menuju balai kesehatan yang terletak tidak jauh dari sana.

     "Keluarga pasien?" tanya dokter yang baru saja keluar dari unit gawat darurat.

     "Saya temannya, Dok," jawabku.

     "Silakan isi data pasien dan tolong hubungi orangtuanya agar kemari. Saya permisi dulu." Setelah itu dokter tersebut pergi meninggalkanku.

     Aku berjalan menuju meja registrasi dan mulai mengisi data diri Argus, juga membayar uang perawatannya barusan. Setelah aku mengirim pesan pada orangtua Argus lewat ponsel milik Argus yang diberikan oleh seorang suster.

     Nah, sekarang apa yang harus kulakukan? Menunggu orangtuanya datang? Bagiamana jika mereka menyalahkanku atas kejadian ini? Lalu aku harus bagaimana saat Argus sadar nanti? Dia selalu terlihat baik-baik saja saat di sekolah jadi mungkin dia akan tersinggung karena aku melihatnya pingsan.

     Aduh, apa yang ahrus kulakukan?!

     Aku menggigit bibir bawahku sambil menatap Argus yang sudah dipindahkan ke kamar pasien.

     Akhirnya aku memutuskan menaruh kembali ponsel Argus di balik selimutnya lantas pergi meninggalkannya setelah mengirim sebuah pesan permintaan maaf.

     Toh, aku juga tidak dibutuhkan dalam situasi ini. Hanya akan menambah beban.

Altheargus ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang