Waktu istirahat hampir habis. Navalen keluar dari kamar mandi dengan tubuh ringan dan rasa yang lega luar biasa. Hingga kemudian, sesuatu membuatnya panik seketika. Ia telah meninggalkan ponselnya di kamar mandi.
"Astaga! Hp gue," pekiknya kemudian berlari untuk kembali masuk ke kamar mandi. Tak peduli dengan beberapa orang yang sedang melintas dan seketika menatap aneh dirinya karena tiba-tiba memekik.
Hingga kemudian Navalen merasakan kelegaaan untuk yang kedua kalinya saat ponselnya ada di genggaman.
"Untung nggak ilang," gumamnya lalu melangkah menjauhi kamar mandi. Tujuannya adalah taman sekolah.
Keadaan taman cukup sepi saat ia tiba. Hanya ada segelintir orang di sana. Navalen membawa kakinya untuk duduk di sebuah bangku dekat danau kecil.
Cowok itu menghembuskan napas saat sudah mendudukkan tubuhnya. Matanya menatap sekeliling, melihat segelintir orang yang tak jauh dengannya duduk dengan santai. Sambil sesekali tertawa bahagia.
"Kapan gue bisa kayak gitu?" gumamnya lamat-lamat. Sebersit rasa iri singgah dihatinya. Ingin sekali ia seperti teman-temannya. Punya orang tua, punya keluarga, punya banyak teman, hanya memikirkan sekolah tanpa memikirkan bagaiamana agar bisa tetap hidup, dan hal-hal lain yang biasanya dirasakan saat-saat remaja.
Tapi sepertinya Tuhan tak berniat memberikan semua itu padanya.
Katanya, masa remaja adalah yang paling indah. Tapi, mengapa ia tak bisa merasakannya dan justru terus terperosok dalam ruang hampa dan kesedihan yang tiada ujung?
Ingin sekali Navalen mencari teman dan menjalin persahabatan agar bisa sedikit berbagi atas luka yang ia rasakan. Namun beban hidup yang begitu berat membuat ia kehilangan selera untuk sekedar berteman. Jangankan berteman, menyapa orang lain saja dirinya enggan.
Terkadang, Navalen sering menghayal jika ia hidup sebagi manusia normal. Sehingga seringkali bayangan kebahagiaan menyelimuti dirinya dan membuat ia merasa menghangat. Namun hal tersebut tak berlangsung lama. Karena biasanya fakta pahit yang tiba-tiba melintas membuat kebahagiaan itu sirna.
"Andai aja gue punya orang tua, punya keluarga. Pasti hidup gue seneng banget." Navalen tersenyum getir. Sesak di dada tak dapat ia tahan. Beban hidupnya begitu berat, dan ia terus menanggungnya sendiri.
Navalen menghela napas berat. Ia terlalu banyak mengeluh hari ini. Mungkin Tuhan saja bosan karena terlalu sering mendengar keluhannya.
"Navalen, lo nggak mau masuk kelas? Udah bel, loh," tegur seorang siswa yang juga beristirahat di taman. Tampaknya, siswa tersebut ingin kembali ke kelas karena bel masuk sudah berbunyi.
Navalen yang sedang melamun sedikit tersentak. Sebelum akhirnya ia menjawab, "Ooh oke."
Siswa tersebut kemudian berlalu. Meninggalkan Navalen yang mendesah bosan. Malas sekali rasanya ingin masuk kelas. Tapi walau begitu Navalen tetap bangkit dan melangkah meninggalkan taman. Meski dengan langkah gontai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nav's Stories
Dla nastolatków[Completed] Menurut Navalen, Navia hanyalah cewek sombong, menyebalkan, dan sok galak yang sukanya marah-marah. Mentang-mentang menjabat sebagai ketua kelas, Navia selalu bertingkah semena-mena tanpa memikirkan kesejahteraan teman-temannya. Belum la...