chapter 25

331 32 0
                                    

Masih memakai kemeja Aglan, Fanya mempersiapkan menu makan sore untuk mereka berdua. Setelah Aglan bangun dan merasa lapar, Fanya segera beranjak ke dapur dan melihat isi dapur. Sepertinya Aglan sudah mengisi seluruh rumah ini, dari pakaian mereka sampai isi kulkas dan stok makanan. Fanya memilih untuk membuat spageti dengan potongan sosis. Karena menurutnya itu adalah pilihan makanan yang paling mudah. Dan Fanya berharap Aglan tidak akan protes, karena dia bukan Gita yang sangat ahli dalam masak-memasak. Baru saja Fanya ingin memotong sosis, seseorang sudah lebih dulu mengambil pisau dari Fanya, membuatnya sedikit terkejut. Dia menoleh dan menatap Aglan yang terlihat dengan sangat lihai memotong-motong sosis, sementara dirinya merebus spageti dan menuangkan sedikit minyak. Aglan juga sudah memotong bawang bombay dan memberikannya pada Fanya.

"Kapan bangunnya?" tanya Fanya. Aglan menoleh dengan wajahnya yang masih muka bantal. Dan menjawab," saat aku ngerasa istriku hilang." Fanya menjadi tertawa dengan suara serak pria di sampingnya.

"Kayaknya kamu lebih pintar di dapur dari pada aku," ucap Fanya. Dengan wajahnya yang serius sambil memotong bawang bombay, suaminya itu berucap,"Aku terbiasa hidup sendiri, jadi aku terbiasa di dapur agar tidak sering membeli makanan di luar."

Fanya menganggukkan kepalanya. Dia merasa sedikit tidak enak, karena sejak kecil dia sangat malas untuk membantu bunda di dapur. Lagi juga bunda tidak pernah memaksanya untuk mengerjakan urusan dapur. Dia selalu bilang," masih ada bibi yang temenin bunda di dapur." Jadi Fanya jarang sekali mengurusi dapur. Masih mengaduk spagetinya, Fanya menaruh centong di samping kompor dan menoleh pada Aglan.

" kamu gak nyesel nikah sama aku? Aku kan gak kayak Gita yang pintar masak," ucapan Fanya di balas dengan menjejalkan satu potongan sosis pada Fanya.

"Aku gak peduli kamu bisa masak apa gak, karena yang aku cari teman hidup, bukan tukang masak," jawabnya dengan santai. Fanya tersenyum simpul dan kembali mengaduk spagetinya. Melihat spagetinya yang sudah mulai matang, Fanya mematikan kompor dan meniriskannya.

"Tapi aku berharap kamu bisa bikin brownies kayak kak Gita, karena aku paling suka sama browniesnya dia." Fanya mendelik pada Aglan yang sedang menahan tawanya. "itu mah sama aja!" Aglan hanya tertawa dengan rutukan istrinya itu dan memberikan ciuman singkat di pipinya.

"Aku paling suka ngeliat kamu ngambek, muka kamu beneran lucu." Fanya memasang wajah kesal pada suaminya itu. Namun, karena Aglan masih saja menggodanya dengan senyumannya yang menyebalkan. Dan mau tidak mau senyuman itu pun tertular pada Fanya. Baru saja dia ingin mengambil teflon, Aglan sudah lebih dulu mengambil teflonnya dan menyuruh Fanya duduk di kursi bar, sambil berkata, "Biar aku aja yang masak."

Fanya tersenyum senang dan mengikuti perintah Aglan. Dia memperhatikan pria itu yang sangat lihai dengan dapur. Sangat jarang seorang lelaki yang bisa berdiri sesantai Aglan di dapur. Kebanyakan orang berpikir dapur adalah tempat perempuan dan kantor adalah tempat lelaki. Fanya merasa sangat kesal dengan orang-orang yang berpikir sempit seperti itu. Padahal banyak pria yang bekerja sebagai chef, cleaning service, dan masih banyak lagi pekerjaan wanita yang di kerjakan oleh perempuan. Bahkan perempuan sendiri banyak yang bekerja dan sangat sukses, sebut saja Ika natassa, seorang banker sekaligus penulis, Aulia Halimatussadiah pendiri sebuah website dimana Fanya bisa membeli berbagai macam buku. Dan masih banyak lagi perempuan-perempuan inspiratif yang bisa bekerja dan memiliki penghasilan lebih dari seorang pria.

Sebenarnya Fanya masih agak kesal dengan Aglan yang memutuskan pekerjaannya begitu saja. Tapi mau gimana lagi, itu sudah menjadi peraturan kantor. Dan dia tidak bisa berkomentar apapun. Tapi dia masih ingin bekerja, beberapa hari berada di rumah dan tidak melakukan apapun. Sangat membuatnya bosan. "Glan."

"Apa sayang?" Aglan hanya menoleh sekilas pada istrinya itu dan kembali mengaduk spagetinya yang hampir matang. Fanya selalu merasa aneh setiap kali Aglan menyebut kata ' sayang', bukan karena dia tidak suka, melainkan dia merasa semakin bersalah.

"hmm... kalau aku cari kerjaan di tempat lain, kamu gak keberatan, kan?" tanya Fanya. Aglan kembali menoleh setelah menaruh spageti di dua piring. Pria itu tidak langsung menjawabnya, melainkan membawa dua piring spageti it ke meja bar. Meletakkan satu piring dihadapannya dan satu lagi untuknya.

"Aku gak masalah. Cuma aku gak mau orang-orang beranggapan aku gak bisa membahagiakan kamu," jawab Aglan.

"Jadi, maksud kamu aku gak boleh kerja?" tanya Fanya sedikit kesal.

Aglan mendengus pelan, menaruh alat makannya dan menatap istrinya yang terlihat kesal,"Dimana kata-kataku yang menyatakan aku gak izinin kamu kerja?"

"kamu gak mau orang-orang beranggapan kamu gak bisa bahagiain aku," ucap Fanya.

Aglan kembali menghela napas dan berucap," aku gak melarang kamu, sayang. Hanya saja aku harus tahu apa yang kamu kerjakan dan aku gak mau sampai ada kabar yang mengatakan seperti itu," Aglan kembali menyuap spagetinya masih dengan tatapan istrinya yang terlihat dingin padanya.

"Jadi, aku boleh kerja, asalkan aku izin dan kamu tahu pekerjaan aku, gitu?" tanya Fanya. Aglan mengusap kepala Fanya seakan-akan istrinya itu yang jauh lebih muda darinya. "Akhirnya kamu pintar juga."

Aglan menggulung spageti dengan garpu dan menyuapkan pada Fanya. "Gimana kalau kamu gak setuju dengan pekerjaan baru aku?" tanya Fanya sebelum menyuap spageti dari Aglan.

"Apa dulu pekerjaannya, aku tahu kamu jurusan managemen. Tapi selama ini kamu gak pernah mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang kamu," ucap Aglan. Dan dia kembali berucap," pekerjaan terlama buat kamu di perusahaan Elmo. Karena di tempat lain kamu selalu merasa kesal dengan atasan-atasan kamu yang dulu."

"Jadi, maksud kamu aku gak akan bisa kerja di kantor lain?" tanya Fanya. Aglan tidak langsung menjawab, dia kembali menyuap spageti dan mengunyahnya. "Kamu gak berbakat bekerja dengan orang lain, sayang. Kamu lebih bisa bekerja dengan orang terdekat, atau bekerja mandiri."

"Maksud kamu lebih baik aku bekerja mandiri? Membuat usaha sendiri?"

Lagi-lagi Aglan mengusap rambut Fanya seperti anak kecil. "Akhirnya anak papa sudah besar."

Fanya memasang wajah kesal karena ledekannya. Namun kepalanya seakan berpikir keras usaha apa yang bisa ia lakukan? Di kepalanya seakan membuat sederet daftar usaha yang bisa ia buka. Namun belum ada satu pun yang bisa ia pilih. Karena banyak sekali resiko jika membuka usaha. Setiap usaha itu pasti memiliki untung dan rugi, setidaknya Fanya harus mencari usaha yang bisa menguntungkan dan memiliki resiko yang rendah.

Di saat istrinya itu sedang berpikir, Aglan mengintrupsinya membuat seluruh pikiran Fanya buyar, "Gantian dong kamu yang suapin aku."

"Kayak anak kecil aja disuapin!" balas Fanya. Namun ia tetap menyuapkan spageti pada suaminya. Aglan tersenyum melihat raut wajah Fanya, dia selalu suka melihat raut wajah istrinya itu, entah tawanya, rutukannya, atau pun saat dia sedang cemberut dan diam seperti saat ini.

Cinta bukanlah sebuah fisik, atau pun aturan lama, cinta itu sebuah tawa yang tercipta di saat santai, pembicaraan santai yang selalu datang di setiap bersama, dan kebahagiaan di saat melihat orang yang kita cintai. Dan Aglan merasa ia sudah mendapatkan semuanya. Bukan hanya fisik, namun juga tawa, pembicaraan dan kebersamaan.

*****

brownies ( new version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang