Chapter 23

349 33 0
                                    


Tidak berapa lama dari pintu tol, Aglan sudah memasuki Jakarta selatan. Tepatnya ia sudah memasuki kompleks rumah Gita. Fanya masih memperhatikan jalanan dan ia baru sadar kalau laju yang kendaraan yang Aglan lalui bukan arah rumah Gita. Memang tidak jauh dari arah rumah Gita. Hanya berbeda dua blok. Di blok ke tiga mobil Aglan berbelok, melewati dua rumah dan masuk ke sebuah pekarangan rumah elit. Dia menghentikan mobil di depan pintu utama membuat Fanya terlihat bingung. Aglan turun lebih dulu, membukakan pintu untuk Fanya dan meraih jemarinya memasuki rumah besar dengan bergaya modern. Pagar tembok yang cukup tinggi dengan bentuk kayu-kayu panjang. Dan saat memasuki pagar Fanya dihadapkan pada sebuah rumah modern dengan kaca-kaca besar. Ada seperti bale-bale di sisi rumah dengan rumput-rumput hijau yang tertata dengan sangat cantik.

Aglan membawanya masuk ke dalam rumah dan Fanya memperhatikan ruang tamu yang sudah tertata dengan cantik. Sofa berbentuk U menghiasi ruangan dengan lemari pajangan yang cantik. Berjalan ke ruang tengah sofa berbentuk L kembali menghiasi dengan televisi 62inc beserta seperangkat home theater. Tak tertinggal X-box yang juga ikut berjajar dengan home theater. Fanya hanya menggeleng dengan hobi suaminya. Perhatian Fanya teralihkan ke meja pajangan. Sebuah foto berderet terpajang rapi. Seakan sudah teratur dari kiri foto Aglan dari semasa kecil sampai sekarang. Dan dari kanan foto Fanya semasa kecil sampai sekarang. Aglan terlihat bahagia saat berfoto dengan kedua orang tuanya, namun setelah ia berusia dua belas tahun, semua raut wajahnya berubah. Dia terlihat sedih dan kesepian.

"Apa mereka bahagia di sana?" Ucap Aglan. Fanya melihat foto kedua orang tua Aglan yang juga bersanding dengan kedua orang tuanya. Mereka terlihat seperti orang tua pada umumnya, yang selalu mementingkan anak-anaknya dan rela berkorban untuknya. Bahkan walau mereka harus menantang bahaya.

" Papa dan mama pasti bahagia banget. Karena kamu jadi laki-laki yang tampan dan pintar," ucap Fanya yang berusaha untuk menghilangkan raut sedih di wajah suaminya itu.

"Jadi, sekarang kamu udah sadar sama ketampanan aku?" Fanya merasa menyesal telah memuji Aglan. Dia mengacuhkannya dan memilih untuk melihat tempat-tempat lain. Sebenarnya Fanya masih sedikit bingung, tapi melihat foto pernikahan mereka yang sangat besar sudah terpajang di dinding dan foto-foto yang berderet di meja, sudah membuat Fanya menebak kalau ini akan menjadi rumahnya. Tapi kenapa Aglan tidak memberitahunya kalau ia membeli rumah di sini?

Fanya terkejut saat merasakan Aglan memeluknya dari belakang. Laki-laki itu menyandarkan dagunya di bahu Fanya, membuat hembusan napas laki-laki itu terasa ditengkuknya. Fanya masih belum terbiasa dengan ini, dan dia selalu merasa jantungnya akan terasa tidak normal setiap kali measakan Aglan menyentuhnya.

"Ada yang ingin aku tunjukin ke kamu," ucapnya. Fanya membiarkan tangannya kembali di raih oleh Aglan dan mereka berjalan menaiki tangga.

Aglan mempersilakan Fanya untuk membuka pintu kamar utama di rumah itu. Lagi-lagi Fanya tercengang. Sebuah tempat tidur king size, seperti kamar-kamar di lantai bawah, hanya bedanya kali ini hanya ada sofa double dan sebuah televisi 62inc dengan home theater lengkap. Pintu geser ke arah balkon membuat kamar mendapatkan udara yang sangat cukup. Fanya berjalan keluar balkon yang ia pikir hanya balkon biasa. Namun, saat ia berjalan keluar, dia mendapati tangga menuju ke lantai bawah. Bukan hanya itu lantai itu juga langsung menuju ke kolam renang.

Fanya harus menutup mulutnya untuk menahan teriakkannya. Dia benar-benar tidak bisa menahan rasa bahagianya, ia merasa sangat senang dengan apa yang Aglan berikan untuknya. Ini semua tidak pernah terlintas di pikirannya.Tapi ia benar-benar merasa senang dengan semuanya. Fanya merasakan Aglan kembali memeluknya dari belakang dan menyandarkan kepalanya di bahu Fanya.

"Kamu bahagia?" Bisik Aglan. Fanya mengangguk senang. Aglan membalik tubuh Fanya, membuat wanitanya menghadap padanya. Binar mata Fanya tidak bisa berbohong, bahkan senyum dan anggukannya pun seakan meyakinkan Aglan kalau dirinya benar-benar bahagia. Tangan Aglan membelai pipi Fanya dengan sangat lembut.

"Aku beli rumah ini sebelum hari pernikahan kita. Tapi harus ada beberapa renovasi, jadi aku ajak kamu ke rumah Gita," ucap Aglan. Fanya mengerutkan kening dan menatap suaminya"Kamu beli rumah ini sebelum pernikahan kita? Katanya kamu baru jual apartemen setelah kita menikah," tanya Fanya.

"iya, tapi aku jual apartemen itu karena ngerasa gak akan aku pakai," jawab Aglan. Pria itu semakin mengeratkan pelukannya dan berujar," karena aku udah punya rumah untuk aku pulang."

Fanya terdiam sambil menatap Aglan yang masih memeluknya dan masih membelai pipinya," Glan, boleh aku minta sesuatu sama kamu?" Aglan menatap istrinya, seakan seakan menunggu apa yang ingin dikatakannya. Fanya melepaskan pelukan Aglan dan membawanya ke kursi. Fanya baru saja duduk, namun Aglan lebih dulu menariknya membuat Fanya duduk di pangkuan lelaki itu.

"Kamu mau apa?" tanya Aglan.

"Aku minta sama kamu untuk gak mengeluarkan uang untuk hal yang gak terlalu penting," ucap Fanya. Aglan mengerutkan keningnya seakan protes."Kenapa?" tanya Aglan.

"Aku gak mau orang-orang berpikir aku menikahi kamu hanya karena uang," balas Fanya. Aglan memainkan rambut Fanya dan menyampirkannya di kuping. Dia menatap Wanitanya yang terlihat diam seakan menunggu jawabannya."baiklah."

Entah karena dia benar-benar setuju, atau agar pembicaraan itu selesai dengan mudah. Fanya masih duduk di pangkuan Aglan, ia merasa nyaman dengan pelukan Aglan yang sesekali memainkan rambutnya. Fanya tak mengelak saat Aglan memeluknya lebih erat dan mencium bibirnya. Seperti biasa ciuman lelaki itu seakan tidak pernah berusaha, selalu dimulai dengan sangat lembut dan perlahan ciuman itu menuntut tanpa menyakitinya.

"Aku hanya ingin memberikan yang terbaik untukmu, karena aku sudah janji sama diri aku. Aku ingin membahagiakan kamu," ucap Aglan.

"Tapi aku gak mau ada yang bilang kalau aku menikah sama karena..." ucapan Fanya terpotong karena ciuman Aglan.

"Aku yang mengenal kamu, jangan pikirkan perkataan orang lain," tutur Aglan membuat Fanya terhenti. Aglan kembali mencium bibir Fanya, ciuman yang seakan dapat mematikan kerja otak Fanya. Fanya hanya bisa membalas ciuman pria itu dan merangkul lehernya. Karena dia merasa kualahan mengikuti Aglan. Sekali lagi Fanya merasa sentuhan Aglan. Sentuhan yang seakan membakar. Fanya terlena dalam pelukan dia menikmati cumbuan Aglan dan dalam hitungan detik keduanya sudah tenggelam dalam gairah. 

brownies ( new version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang