Dia Daisy-18

62 18 60
                                    

Angin berbisik dengan syahdu
Membuatku ingin menyuratkan selarik bahasa rindu.
Kala aku hanya termangu di temaramnya malam
Berteman luka-luka yang amat begitu lebam.
________

Daisy menatap foto polaroid dan sebuah bingkai kecil yang sama-sama berisi foto seorang gadis yang mirip dengannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Daisy menatap foto polaroid dan sebuah bingkai kecil yang sama-sama berisi foto seorang gadis yang mirip dengannya. Jemarinya menggenggam ikat rambut yang pernah diberikan Aster waktu itu.

Rasa penasarannya meledak-ledak kali ini. Ia sungguh ingin tahu siapa gadis yang tertangkap kamera bersama kekasihnya itu.

Pikirannya berjelajah ke sejarah waktu ia masih kecil. Benar, dulu ia pernah bertemu seorang anak laki-laki di kala itu.

Tapi benarkah itu Aster? Kenapa Aster tak pernah memberitahunya jika mereka adalah teman masa kecil?

Malam nanti, Daisy berniat untuk berkunjung ke rumah Aster guna menanyakan siapa sebenarnya gadis di dalam foto itu meskipun ia tahu hubungan mereka sedang tidak baik.

Ponselnya berdering, dengan segera ia mengalihkan perhatiannya. Senyumnya luruh seketika, ia kira Aster yang menghubunginya. Di sana, tertera nomor yang tak dikenalnya. Mungkin Aster ganti nomor ponsel?

"Chi."

Daisy mengernyit saat telinganya tak asing dengan suara ini.

"Iya? Ini siapa, ya?"

"Gua Kafka." Terdengar helaan gusar dari sana.

"Gua beneran minta maaf banget, Chi." Daisy lagi-lagi mengernyit, tak paham dengan apa yang dilontarkan Kafka.

"Minta maaf? Kenapa?"

"Gua tahu lo pasti marah banget waktu di lapangan basket kemaren sore. Gua beneran nggak berniat buat ngelukain lo, Chi. Maaf."

Daisy tertegun mendengarnya. Seharusnya Daisy yang meminta maaf, ia dengan seenaknya tak menghargai opini orang lain.

"Kak ... seharusnya aku yang minta maaf. Aku nggak ngehargain pendapat Kakak."

"Nggak apa-apa. Yaudah, sekarang kita saling memaafkan." Kafka menambah kekehan kecil di ujung ucapannya.

Daisy berbincang banyak dengan Kafka, seperti saling bertukar opini. Nyatanya, Kafka cocok untuk dijadikan partner berbincang. Kafka tak se-kaku yang dikiranya.

Daisy melahap buah blueberry pemberian Artha sambil menatap bulan purnama dari jendela kamar Dara.

Tadinya, Daisy ingin mengajak Dara melihat sebuah benda angkasa yang berbentuk bulat itu dari balkon kamarnya. Namun, karena tahu Dara yang phobia ketinggian, Daisy yang harus mengalah. Itu juga alasan kenapa kamar Daisy yang berada di lantai atas, sedang putri sang pemilik rumah berada di bawah.

Dia DaisyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang