-End-

84 21 210
                                    

"Sesekali, mungkin kamu butuh menyendiri pada sudut sepi. Agar kamu dapat memahami apa yang selama ini ingin disampaikan nurani."

Mentari kembali menyapa seperti sedia kala. Membangunkan penghuni bumi dengan sinar silaunya. Lewat celah jendela dan menyusup pada kelopak mata.

Aster terbangun, mengusap matanya yang sedikit perih akibat tadi malam ia yang susah tidur. Kakinya dilangkahkan menuju kamar mandi. Berbenah diri meski hari ini adalah hari libur. Patut ditiru, bukan hanya tiduran dari pagi sampai sore saja.

Seraya merapikan rambutnya, Aster mengutak-atik ponselnya. Terdapat beberapa pesan dari Kafka. Berisi hal mengejutkan.

Kafka

Aster, Daisy nggak ada.

Perempuan baik itu ninggalin kita semua.

"Apaan, sih!"

Aster melempar asal ponselnya. Perkataan macam apa itu? Ia yakin, Kafka sengaja membuatnya risau. Ya, pasti!

Tapi ... netranya kemudian bergerak gelisah. Aster takut, hal itu benar-benar terjadi. Dan ia tidak menginginkan itu.

Sedetik kemudian, Aster terlihat keluar kamar dengan ketar-ketir. Berlari menghampiri motornya. Bergegas menuju rumah Daisy dengan segera.

"Minggir, woy!" Aster benar-benar gila. Semua pengendara yang menghalangi jalannya dihardik begitu saja.

Sampai di kediaman cewek yang masih berstatus pacarnya itu terlihat lumayan ramai.

"Bisa jadi Dara atau Gara yang punya acara?" gumam Aster berusaha untuk berpikir positif.

Aster mencoba melangkah ke dalam. Orang-orang di sana kebanyakan terdiri dari orang berumur.

Sampai di ruang tamu, Aster semakin bingung ketika Dara dan lainnya sedang menangis tergugu. Ada banyak orang dewasa yang duduk-duduk seperti beristirahat. Raut mereka terlihat letih.

Gara yang tak sengaja melirik Aster segera bangkit. Tanpa banyak omong kosong lagi, tiga pukulan sekaligus mendarat pada wajah Aster.

"Apaan, sih, lo!"

Gara mendelik garang. "Apa kata lo? Lo masih nanya apa? Otak lo di mana, hah?!" Gara berkali-kali menunjuk kepala Aster dengan tak santai.

Kafka, Geo dan Banu berusaha melerai acara cekcok tersebut.

"Gara, please. Bisa nanti atau besok, kan, ngomongnya? Kita lagi berduka, Gar," tutur Kafka.

"Mending lo duduk dulu. Tenangin dulu." Geo ikut bersuara.

Gara berdecak. "Dalam keadaan gini gua disuruh diem? Diem aja saat adik gua disakitin segitunya? Terima gitu aja?!" Gara menggeleng keras. "Nggak akan!"

Gara kembali memukul Aster. "Nggak akan gua biarin laki-laki gila kayak dia hidup!" pekik Gara.

Aster dan Gara mulai membalas pukulan satu sama lain. Dara, Yura, Haura dan Maria berdiri di pojok ruangan. Takut-takut terkena pukulan juga nantinya.

"Aster, jangan diladenin!"

"Gara udah!"

"Nggak akan gua biarin lu bertahan hidup, kalau adik gua juga nggak bertahan hidup gara-gara lo!"

Sedetik kemudian, tubuh Aster berdiri kaku. Pukulannya juga melayang di udara. Ia masih mencoba meresapi apa yang didengarnya tadi. Keadaan pun hening seketika.

"Maksud lo apa?" lirih Aster dengan tatapan kosong, lurus ke depan. Pertanyaannya pun tak kunjung dijawab oleh Gara maupun yang lainnya.

"MAKSUD LO APA, HAH?!" teriak Aster. Suaranya menggema memenuhi ruangan.

Gara tertawa pedih. "Bahkan lo nggak tau kalau adik kesayangan gua udah pergi?" Gara membalas dengan suara kecil. Pondasinya rusak, air matanya kembali merembes.

"Laki-laki macam apa lo?"

"LO NGGAK PANTES DISEBUT LAKI-LAKI, ASAL LO TAHU!"

Aster tetap diam dengan posisi semula. Pikirannya tiba-tiba blank, pecah kesana-kemari.

Daisynya pergi? Itu tidak mungkin bukan? Teriak padanya, bahwa Daisy tidak mungkin meninggalkannya secepat itu. Bahkan, Aster tidak berada di samping Daisy saat-saat terakhir.

"Kenapa lo sekarang diem? Nyesel? Nggak percaya? Pengen Daisy balik?" tanya Gara, wajah laki-laki itu sudah bersimbah keringat dan air mata.

Gara tertawa sekali lagi. "Telat! Dia udah terbang ke surga. Dia udah bahagia sendiri di sana." Gara meneteskan air mata tanpa henti. "Daisy udah nggak sakit lagi. Daisy nggak akan nerima perlakuan kasar lo lagi."

"Dia udah bener-bener bahagia dengan dunianya."

Aster menggeleng mendengar semua perkataan Gara. Itu semua dianggap angin lewat bagi Aster. Daisy begitu mencintainya, jadi mustahil Daisy meninggalkan dirinya begitu saja.

"Nggak mungkin ...." Aster berujar dengan lirih. "Daisy cinta sama gua. Dia nggak akan ninggalin gua gitu aja. Nggak mungkin."

Gara berdecih. "Terserah lo ngomong apa. Omongan lo yang sekarang udah nggak ada gunanya. Semuanya sia-sia. Karena orang yang lo maksud udah nggak ada."

"Daisy ...."

Gara mengusap wajahnya. "Gua nggak habis pikir sama lo. Cewek sebaik itu lo sia-siain?"

"Bahkan, nama lo masih sempet disebut saat-saat terakhirnya."

Penerang hidupnya telah padam. Separuh nyawanya telah tiada. Lalu? Bisakah Aster tetap bertahan hidup? Bisakah Aster tertawa kecil ketika penyebab tawanya saja sudah hirap?

•••

Aster berjalan ke dalam rumahnya dengan tatapan kosong. Tubuhnya bagai tumbuhan yang tengah berada pada musim kemarau. Layu tak ada gairah.

Tubuhnya ia dudukkan tepat pada tempat di mana Daisy terbentur kepalanya. Dan dirinya adalah penyebab itu semua.

Seharusnya yang menghilang dari bumi itu adalah dirinya. Laki-laki yang tak tahu diri, telah dicintai gadis setulus Daisy.

"Daisy ...."

Kedua lutut lelaki itu ditekuk dan direngkuh oleh kedua tangannya. Punggungnya bersandar pada tiang yang pernah bertemu kepala Daisy. Matanya menatap lurus ke depan.

"Bisa-bisanya lo tetep bertahan sama gua waktu itu. Saat gua nyakitin lo. Entah itu fisik maupun batin." Aster menelan salivanya susah payah. "Sama laki-laki kayak gini?"

"Chi, orang kayak gua nggak pantes bisa tetep bebas hirup napas. Harusnya gua yang berada di posisi lo."

Untuk pertama kalinya, Aster menangis keras perihal perempuan. Terakhir ia menangis sewaktu ia bertengkar dengan papanya, dengan Daisy yang selalu berada di sampingnya.

Sewaktu kepergian Dalisya, Aster hanya merasakan kesedihan yang mendalam. Tapi saat kepergian Daisy, Aster merasa dunianya hilang.

"Duniaku telah hilang. Lalu, pada siapa aku bertahan?"

Dan dua perempuan baik itu telah pergi meninggalkannya. Pergi dari sisi laki-laki buruk ini. Semua itu pantas Aster dapatkan.

-Selesai-

Dia DaisyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang