Eps. 28. Our memory

650 66 1
                                    

Hari sudah mulai larut, namun kehidupan kota tidak serta-merta menyurutkan aktivitas manusia di sana. Semakin malam, kota akan semakin ramai. Di sini orang-orang lebih banyak yang berjalan daripada menggunakan transportasi. Banyak pengamen jalanan, maupun kelompok dancer yang merekam diri mereka dengan latar belakang bangunan pencakar langit yang tinggi menjulang dengan hiasan lampu berwarna-warni.

Seorang pria berambut cokelat terang itu mengeratkan long coatnya sebab udara hari ini cukup dingin. Pria itu berjalan mendekat ke sebuah kerumunan orang yang mengelilingi seorang pria penyanyi jalanan, ketika mendengar sebuah lagu yang mengingatkan dirinya kepada seseorang.

Every time I would get upset you'd
You'd hold me tight and wouldn't let go
And with your head on mine
You'd make me realize I would be just fine
That you'd stay here until it was alright
Beautiful
Just the way that you would look at me
Was so much I'd never wanna leave
I I
Keep trying to forget how you were
Beautiful
Just the way that you were calling my name
But without you it won't be the same
I I
Keep trying to forget but you were beautiful

Dia merasakan jika memang semua kenangan bersama mereka selalu melekat seperti tidak ingin jika dirinya melupakan gadis itu begitu saja. Dia rasa, kenangan mereka yang akan perlahan membunuhnya. Dia sudah berusaha untuk melepaskan semuanya. Namun semuanya sia-sia. Bahkan dia sudah berusaha untuk menjauh dari semuanya. Semuanya gagal. Kenangan mereka terlalu indah untuk dilupakan.

Dia hanya bernapas, namun setengah jiwanya sudah ikut bersama kenangan gadis itu.

Semuanya sedang tidak baik-baik saja. Tiba-tiba saja terlintas kenangannya semasa putih abu-abu ketika mereka pertama kali bertemu saat gadis itu tengah dihukum karena terlambat mengikuti upacara. Sedangkan dirinya dulu adalah seorang ketua osis yang dikenal ketat.

Flashback on

Seorang gadis tengah mengerutu kesal dengan segala sumpah serapah yang meluncur dari bibir mungilnya. Sedangkan tangannya tetap bekerja mencabuti rumput lapangan yang mulai memanjang. Tidak jarang dia meninju atau menendang rumput dengan perasaan kesal setengah mati. Ini semua gara-gara mobil Sean yang tiba-tiba bannya meletus. Terpaksa mereka meninggalkan supir dan berlari menuju sekolah. Sudah bau matahari dan keringat, di sekolah masih dihukum pula.

"Sean! Sekolah ini kan punya yayasan papa lo, kenapa kita masih dihukum sih???"

"Mereka gak pandang bulu, Na. Walaupun gue anak presiden juga tetep disuruh cabut rumput." Hana berdecak kesal dia membanting rumput yang baru saja dia cabut.

"Siapa sih ketua osis sekolah kita?? Sok banget bikin hukuman gini. Gue jadi bau matahari!"

"Tau."

"Makanya jangan telat," ucap seorang pria dengan tangan bersedekap dada dari arah belakang mereka. Gadis itu berdiri memandang nyalang pria itu.

"Ck! Lo conge apa gimana? Gue tadi udah jelasin kenapa gue sampe telat. Alasan sangat masuk akal, dan gue juga cuma telat lima menit! Bukan sepuluh menit atau selebihnya!" Ucap Hana dengan kesal. Giginya gemelatuk menahan kemarahan yang sudah mencium langit ke tujuh. Dia tetap bekerja dengan segala sumpah serapah kepada seseorang yang menjabat sebagai ketua osis sekolahnya.

"Kalau sudah, langsung cuci tangan terus nyanyi Indonesia raya di depan tiang bendera terus kalian catet nama kalian di buku pelanggaran." Hana berdecak. Orang ini benar-benar membuatnya murka. Dia berdiri kemudian memandang si ketua osis dengan nyalang.

Bring Me To Jannah [END] REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang