"Astaga, bau dari mana sih, ini?"
"Wlek. Gue pengen muntah."
"Jauh-jauh dari gue!"
"Ya ampun, udah bau gitu berani banget nampakkin diri. Emang gak tahu malu!"
"Jalang mana tahu malu."
Atha tetap meneruskan langkah menuju lokernya—mengacuhkan kebisingan yang ditujukan kepadanya. Ketika sudah di depan loker miliknya, gadis itu ingin menangis kembali. Ya, dia tahu, dia sangat cengeng. Tapi, bukankah tindakan orang-orang itu sudah kelewat batas?
Loker gadis itu sudah penuh dengan coretan spidol hitam, tip-ex, dan cairan merah, dan kondisinya terbuka. Kata-kata kotor mengisi lokernya. Parahnya, loker itu sudah diobrak-abrik dan pakaian serapan dan sepatu miliknya sudah tak layak untuk dipakai lagi. Baju yang sudah robek—entah berapa robekan dan sepatunya yang sudah hancur. Padahal sepatu itu hasil jerih payah dia selama bekerja paruh waktu sebagai penjaga di sebuah toko buku.
Atha mencengkram kuat lokernya. Kenapa? Kenapa Tuhan tidak adil? Membiarkan dia tersiksa diatas tawa orang lain. Lagi-lagi cairan bening itu membasahi pipinya.
Gadis itu segera berlari entah kemana. Bising dari suara semua orang itu ... Atha benci. Dia tak sekuat itu untuk menahan segala ketakutan dan kekejian orang-orang yang membullynya. Kenapa mereka bahagia sekali jika orang yang lemah tunduk pada mereka? Apakah itu bersaing bagi mereka? Menindas orang yang tak berdaya?
Itu tidak adil bukan?
Atha hanya bisa meraung dan menghentakkan kepalanya di dinding. Kini, gadis itu berada di gudang. Ia menangis cukup lama hingga matanya tertutup rapat. Dia tertidur dalam keadaan menangis.
Di sisi lain, seorang cowok telah melihat kejadian itu semua. Ia menggeram kesal. Namun, bukan sekarang saatnya untuk membalas kejahatan mereka pada gadis yang diam-diam telah lama ia sukai. Jujur, dia tidak bisa. Dia tak tahan dengan kejadian buruk ditimpa Atha. Hatinya ikut nyeri. Sakit sekali. Seolah dia merasakan apa yang diderita oleh gadis itu. Ya, gadis itu sangat menderita hingga tidak tahu lagi apa yang bisa membuatnya bahagia. Tiada lagi senyuman selembut sinar mentari pagi itu. Gadis yang ia sukai, sudah kehilangan rona bahagia dalam hidup.
Cowok itu keluar dari persembunyiannya—dibalik papan tulis tua. Ia melangkah sangat tenang, berbeda dengan hatinya yang sangat ribut di dada. Dia melepaskan seragam sekolahnya, menyisakan kaus polos bewarna hitam yang tercetak di tubuh berototnya. Kemudian, melampirkan seragam itu ke tubuh Atha yang agak kuyup juga memberikan topi bewarna hitam ke kepala gadis itu sangat pelan—takut jika gadis itu akan terbangun dan melihat kehadirannya.
Jantung cowok itu masih tidak bisa tenang. Bau busuk dari gadis itu saja tak ia hiraukan. Ia menyibak rambut yang menutupi kecantikan gadis berkulit pucat itu. Cowok itu mendesah pelan. Dia semakin kurus, batinnya berkata.
Bunyi bel pulang terdengar, mengejutkan cowok itu. Dengan cepat cowok itu kembali ke persembunyiannya dan disaat itu juga mata gadis itu terbuka perlahan. Mengerjap-ngerjapkan matanya untuk memindai sekitar, hingga pandangannya jatuh pada seragam seseorang yang terbalut di tubuhnya. Gadis itu segera mencari name tag dari seragam itu. Tak ada. Namun, ada coretan di tempat name tag berada.
ALVIN.
Satu nama itu menerbitkan lengkungan tipis dari bibir Atha. Dia mengucapkan terima kasih di dalam hati pada seseorang yang masih berbaik hati padanya.
**
Alvin....
Gadis itu tersentak. Argh, apakah dia tidak bisa bangun dengan tenang? Oh, no. Dimana dia sekarang? Dia tidak di rumah pria lagi, 'kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ups, I Became A Mean Girl [ SELESAI]
Jugendliteratur#WYM2020 Bagaimana bisa korban bullying mendadak jadi tukang bully? Tapi itulah yang di alami Kanatha Rahayu atau kerap di panggil Atha itu. Gadis berumur 17 tahun dengan label kutu buku yang tak pernah lepas, selalu menjadi santapan bullying di sek...