sweet night

978 102 4
                                    

Malam ini tak begitu dingin untuk sekedar jalan-jalan mengingat ini telah memasuki pertengahan musim semi. Jalanan ini sangat ramai di malam hari, dengan beragam lampu warna-warni di setiap sisi jalan. Dan gadis bersurai malam sebahu itu tak henti-hentinya membidikkan kameranya, mengambil setiap momen yang di temuinya.

Jeon Jeya. Gadis itu tersenyum tipis menikmati jalanan Myeongdong malam ini. Ia senang sekali meski hanya sekedar berjalan-jalan dan mengambil beberapa gambar. Sesekali juga ia mencicipi beragam jajanan di sana. Sungguh menyenangkan, fikirnya. Rasa lelahnya mendadak menguar begitu saja setelah tujuh jam duduk di atas awan.

Jeya terdiam sejenak menikmati suasana malam ini, sungguh cerah. Dan sejenak pula ia ingin melupakan kisah kelamnya. Mengingat itu, entahlah, rasanya hatinya tak nyaman sekarang ini. Anggap saja ia melarikan diri, tapi sungguh Jeya merasa lelah.

Apakah Jeya terlihat sangat egois? Meninggalkan mereka yang di sana dalam keadaan yang menurutnya masih, kacau. Ya, anggap saja ia egois yang tak memikirkan mereka semua dan dia yang tengah sekarat, terbaring tak berdaya. Terserah orang memandangnya bagaimana. Tapi jujur, bukan ia ingin pergi, bukan juga ia egois dan tak memikirkan masalahnya, Jeya memikirkan itu semua, setiap saat dan di setiap langkahnya. Ia hanya berpura-pura tak peduli, berpura-pura semua baik-baik saja. Untuk apa? Membuat orang membencinya dan ia akan pergi dengan tenang, seperti kemauannya. Maka tak akan ada orang yang memikirkannya.

Gadis bersurai sebahu itu kembali melangkahkan kakinya setelah menghela nafas pelan, kembali menata hatinya. Satu jam tak di rasakan Jeya, gadis itu hanya terus berjalan tanpa tujuan. Bahkan sekarang ia lupa apa yang di lihatnya barusan, ia lupa dengan apa yang di lewatkannya.

Ponselnya bergetar, pertanda ada panggilan masuk. Saat di lihatnya, Jeya malah mendelik.

Mak Lampir

Sebenarnya Jeya enggan menjawab, tapi yasudahlah dari pada wanita tua itu nanti mengomel.

"Apa?" Kata pertama dari seorang Jeya.

"Tak bisakah kau bicara sopan denganku meski di telepon? Aku ini lebih tua darimu. Apakah susah mengucapkan yoboseyo atau sekedar halo?"

Belum satu menit Jeya mengatakan itu, dan wanita itu telah mengatakannya.

"Iya wanita tua"

"Apa!" Terdengar lengkingan dari seberang sana "Akan ku pukul kau nanti"

"Dan dimana kau sekarang?"

"Apa itu penting?"

"Hei! Kau tidak ada di apartemen, tentu aku khawatir, bodoh!"

Jeya sedikit terkekeh tanpa suara mendengar celotehan Yeonseo. Meski ia bersikap menyebalkan dan membuat wanita itu kesal tapi ia menyayanginya. Dan lihat, sekarang wanita itu marah-marah karena khawatir.

"Aku di Myeongdong"

"Apa!?" Lagi-lagi wanita di ujung sana berteriak "tunggu disana, aku ak..."

Kalimat Yeonseo terhenti begitu saja saat Jeya memutus sambungan sepihak. Ia sedang malas berurusan dengan kata-kata nona Jeon Yeonseo yang tak berujung. Lebih baik sekarang ia kembali berjalan menikmati jalanan Myeongdong yang sangat ramai dan mungkin sesekali ia akan memotret suasana di sana.

Jeya mengarahkan kameranya ke berbagai penjuru, memotret ekspresi orang-orang di sana. Hingga ia melihat gadis kecil, ia bersama ibu dan ayahnya sedang memakan hotteok. Ia berada dalam gendongan sang ayah dan sesekali bercanda hingga gadis kecil itu tertawa bahagia. Dan saat ia memakan hotteok di tangannya, beberapa kali isiannya belepotan dan ibunya dengan sigap membersihkannya. Sungguh keluarga yang manis.

still with youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang