Jeya mengunyah mie dalam kemasan cup yang Juno berikan. Ia tengah duduk bersama dua lelaki aneh versi Jeya, siapa lagi kalau bukan Juno dan Dong Jae. Sepupunya itu bilang akan mentraktirnya makan enak. Tapi apa, remaja sebayanya itu justru membawanya ke sebuah minimarket dan hanya membelikannya sebuah ramyeon. Bukan berarti Jeya tak mau, hanya saja ia agak takut hanya memakan mie di malam hari. Ia terbiasa memakan nasi ketimbang olahan terigu berbentuk panjang itu, tapi bukan berarti Jeya tak menyukainya justru Jeya menyukai olahan mie. Hanya saja Jeya biasanya mengkonsumsi mie untuk mengganjal perutnya saat lapar dan akan makan nasi setelahnya. Jeya memang bisa di katakan banyak makan tapi tubuhnya tak pernah membengkak, ia sendiri saja heran dengan itu. Jika saja tadi ia tak buru-buru pergi dengan Juno, bisa di pastikan ia tak makan di depan minimarket seperti ini.
"Tak ada makanan yang lebih mudah dan enak selain mie" Juno berujar sambil melirik Jeya di sampungnya "kau senang?"
Jeya menghela nafas pelan. Ia tahu betul apa yang terjadi nantinya. Tapi semoga saja perutnya itu bisa berkompromi. Seharian ini Juno mengajaknya berjalan-jalan mengelilingi Seoul. Mulai dari wisata bersejarah hingga wisata alam. Beberapa tempat belum pernah Jeya kunjungi. Meski hampir setiap liburannya di habiskan bersama keluarga Juno, tapi setiap liburan mereka mengajaknya ke kota lain hingga Jeya tak begitu tahu tentang apa yang ada di kota kelahirannya.
"Apa kau marah?"
Jeya menatap Juno. Tampak sekali guratan takut di wajahnya. Jeya tersenyum kecil "apa aku terlihat marah?"
"Kau hanya diam Jey" katanya "maaf aku tak bisa mengajakmu makan di tempat yang lebih baik" Juno tampak menyesal. Ia hanya bisa mengajaknya makan ramyeon dan juga bibimbap saat siang tadi.
"Apa ada tempat lain sebaik ini?" Tanya Jeya "aku senang Juno, ini pertama kalinya aku makan di tempat seperti ini. Ini menyenangkan"
Jeya tak berbohonh soal itu. Ternyata menyenangkan makan di minimarket seperti yang di lakukannya sekarang. Biasanya ia datang ke tempat itu hanya untuk berbelanja bukan untuk makan. Meski Jeya tahu apa yang akan terjadi nantinya, ia tetap memakan olahan mie di hadapnnya. Ada dua alasan Jeya melakukan itu, pertama ia memang lapar dan kedua ia mengharhai Juno. Juno bilang ingin membuatnya bahagia hari ini. Sampai-sampai Jeya tak di perbolehkan untuk membawa uang sepeser pun. Semua Juno yang tanggung, meski makan dan trasportasi yang paling sederhana. Juno memang bisa di bilang anak orang kaya, Juno cucu keluarga Jeon yang terpandang meski tak banyak yang tahu. Tapi di lihat dari apa yang di kenakan lelaki itu memang menunjukkan statusnya. Tapi Juno tetaplah remaja Seoul kebanyakan. Ia mendapat jatah uang saku perbulannya dan itu tak dapat di tolak, ia di larang keras untuk meminta lebih. Setiap harinya saja Juno bepergian dengan kendaraan umum atau Jean yang mengantarkanya. Itu adalah didikan di keluarganya. Ia di tuntut untuk hidup sederhana dan bisa berhemat.
Malam ini Juno menginap di apartemennya. Lelaki itu bilang ingin menjaganya. Ia juga bilang telah ijin dengan ayah dan ibunya. Dan malam ini Jeya kembali terbangun di tengah malam. Seperti malam-malam sebelumnya, ia tidaklah benar-benar tidur, hanya terasa memejamkan mata karena hati dan fikirannya tak tidur. Di tambah lagi gejolak tak nyaman dalam perutnya. Jeya menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang. Perutnya benar-benar tak nyaman. Ini sudah ia perkirakan sejak ia makan tadi. Seharusnya sampai di apartemen ia memakan nasi agar perutnya tak bereaksi. Tapi apalah daya tubuhnya terlalu lelah dan ia tak sanggup lagi untuk memasukkan makanan barang sedikit.
Jeya meraih gelas di atas nakas. Tersisa setengah, bahkan untuk melihat air jernih dalam gelas itu saja ia tak ingin. Dengan malas ia berdiri dan berjalan keluar kamar. Ia harus mencari sesuatu untuk meredakan sakit di perutnya. Jeya berjalan pelan ke ke arah dapur. Tapi agak terkejut saat lampu di dapur terlihat menyala dan dilihatnya Juno tengah sibuk makan di meja makan.
"Jey?"
Jeya hanya diam saat sepupunya itu agak terkejut dengan kehadirannya.
"Kau terbangun?"
Jeya hanya mengangguk dan melewatinya menuju kulkas. Ia mengambil botol air dingin dan menuangkannya dalam gelas hingga penuh.
"Apa kau lapar, Jey?"
Jeya menoleh lalu menggeleng pelan. Juno menyipitlan matanya mengamati wajah Jeya. Sepupunya agak berbeda, wajahnya agak pucat dan dahinya basah karena keringat. Juno mendekat menempelkan telapak tangannya pada dahi sepupunya itu. Di rasa tak panas, tapi ada yang janggal.
"Kau sakit?"
Jeya lagi-lagi menggeleng.
"Tapi kau pucat. Duduklah!" Juno menarik Jeya hingga duduk di kursi pantry "akan kubuatkan teh hangat"
Beberapa menit hening saat Juno tengah membuat teh untuk Jeya, dan Jeya pun hanya diam memperhatikan Juno. Setelah selesai secangkir teh hangat tersaji untuk Jeya.
"Sebenarnya kau kenapa?" Tanya Juno dan hanya mendapat gelengan dari Jeya.
Juno menghela nafas pelan "apa kau kelelahan karena aku?"
Jeya menggeleng "hanya sedikit Juno"
"Tapi kau kenapa?"
"Tak apa dan terima kasih tehnya, ini lebih baik. Dan sebaiknya kau kembali tidur, semua akan baik-baik saja" Jeya beranjak membawa cangkir dan juga gelas air putihnya. Juno masih memperhatikan itu hingga Jeya tak terlihat.
***
Kirana, gadis dengan surai sebahu itu mendengus kesal.
"Apa rencana selanjutnya?"
Kirana melirik sekilas pada sosok yang baru saja bertanya padanya. Orion menatapnya penuh harap jika Kirana akan mengeluarkan sebuah ide yang akan membuahkan hasil.
"Nggak tau"
Bahu Orion merosot mendengar itu.
"Tapi..."
"Apa?" Sahut Orion cepat.
"Nggak jadi"
"Ish..." Orion berdecak saat Kirana bak mempermainkannya.
"Gue yakin gak yakin sama yang satu ini"
"Ya makanya cepet bilang biar gue tau, Kir!" Terlampau kesal, itu yang Orion rasakan pada teman satu kelasnya itu.
"Kita ke Seoul"
Orion, remaja lima belas tahun itu mengeryit mencoba mencerna rencana Kirana.
"Ngapain?"
"Liburan"
"Kir... kita itu niat ma..."
"Kita pura-pura liburan, terus di Seoul kita nyari Icha" sahut Kirana cepat setelah membungkam ucapan Orion.
"Lo yakin Iliya ada di sana?" Tanya Orion "lo kan bilang kemungkinan Iliya ada di empat negara. Ya meskipun kita tahu kalo kakeknya Iliya ada di Korea, tapi nggak mungkin dia sembunyi segampang itu. Bisa jadi dia di Singapura, Jepang atau juga di Inggris"
Ya, kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi. Dari informasi yang Kirana dapatkan, Iliya memiliki saudara di setiap negara yang Orion sebut barusan. Tapi entah karena apa Kirana merasa yakin untuk segera terbang ke negeri gingseng itu.
"Hati gue ngerasa yakin buat ke sana" Kirana berucap pelan.
"Oke, kita coba" putus Orion "tapi masalahnya, apa lo bakal diijinin buat pergi ke Korea sendirian?"
"Kan sama elo"
"Iya, lo emang sama gue. Tapi lo tau kan kalo gue cowok dan bukan siapa-siapa elo? Gue gak yakin lo bakal diijinin sama abang ataupun bokap lo"
Kirana diam sesaat. Lalu perlahan sebelah bibirnya tertarik seolah ada sesuatu yang baik akan terjadi.
"Lo liat aja nanti"
***
Author kambek...
Author with luv pokoknya! Titik!
KAMU SEDANG MEMBACA
still with you
Fanfiction*disarankan untuk baca Trainee terlebih dahulu Sekarang namanya Jeya, Jeon Jeya, dan bukan yang lain. Sekarang hidupnya yang baru dan kisahnya yang baru, tapi tak memungkinkan kisah lama tak akan datang. Haruskah ia kembali? Atau tetap pergi?