stigma

774 100 3
                                    

Ibu jari itu terdapat bekas luka yang telah kering dan sekarang jari telunjuknya mendapatkan luka baru. Sepuluh jari itu terangkat mengusap wajah lelahnya.

Huh...

Jeya menghela nafas pelan. Ia tak peduli orang-orang yang menatapnya dengan berbagai jenis analisa. Ia duduk sendiri menatap matahari yang akan kembali ke peraduannya. Waktu yang tepat untuk melepas penat bersama keluarga. Benar, bukan? Tapi tidak untuk Jeya. Bibirnya tersenyum miring dan tatapan dinginnya. Jeya tahu orang-orang yang berjalan di depannya akan menganggapnya bak psikopat. Raut wajah datar, tatapan tajam dan dingin, dan kaos putihnya yang bersimbah darah. Ia seperti gadis yang baru saja membunuh orang.

Jeya berdiri, berjalan pelan pada pembatas di pinggiran sungai Han. Kakeknya sudah kembali ke Busan satu jam lalu dan Juno sejak siang pergi ke pelatihan dance bersama Jean.  Jeya menatap pelan semburat jingga di angkasa. Memikirkan tentang hidupnya, kisahnya. Ia saja tak tahu seperti apa definisi kisahnya. Ia juga tak tahu kapan kisahnya akan berakhir. Yang ia tahu hanya sabar dan lanjutkan kisahnya.

Satu tetes air menetes dari pipinya saat langit telah menghitam. Jeya baru sadar tentang itu. Dan berapa jam ia di sana? Ia tak tahu. Jeya berjalan pelan menyusuri jalan masih dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. Di pijaknya kelopak-kelopak bunga merah muda yang tesebar di jalanan, sisa-sisa sakura di musim semi yang mekar bulan lalu. Sungguh sayang bunga yang di nanti setahun sekali itu harus segera gugur dalam waktu singkat. Langkah Jeya sampai di taman depan apartemennya. Ia tak sadar telah sampai di sana.

Jeya berjalan pelan menuju apartemennnya, ia mendongak saat merasa seseorang tengah menatapnya. Di sana, di depan gedung aprtemen, seorang pria tengah menatapnya aneh dan... takut? Mungkin, terlihat wajahnya yang tampan agak pucat saat menatapnya dan bola matanya melebar. Jeya menyadari, dirinya tampak menyeramkan saat ini. Jeya mengenal pria itu, tapi tidak sebaliknya. Lagi pula ia baru datang tiga hari lalu.

Dengan wajah takutnya pria tadi segera masuk ke dalam gedung. Jeya tak peduli dan memilih ikut masuk ke dalam gedung. Ia ingin beristirahat. Tapi sepertinya tak akan secepat itu ia akan istirahat. Wanita tua itu berkali-kali mengumpat di depan pintu apartemennya.

"Pintu itu tak salah, jangan menendangnya" ucap Jeya.

Wanita di depannya itu berbalik dengan waja garang. Tatapannya memicing pada Jeya.

"Kau!" Desisnya tajam "kemana kau malam-malam begini? Ini sudah jam sepuluh malam dan kau belum pulang!" Yeonseo berseru marah pada Jeya.

"Maaf"

"Maaf katamu? Aku mengkhawatirkanmu! Bila terjadi apa-apa bagaimana? Aku harus mencarimu kemana? Dan aku yang akan di salahkan, Jey! Ya Tuhan..." Yeonseo mengusap wajahnya kasar. Ia benar-benar gusar saat datang sepuluh menit yang lalu dan tak mendapati siapapun di apartemen Jeya. Bahkan ia menelpon sepupunya berkali-kali dan tak mendapat jawaban.

Netra Yeonseo kembali melebar "Apa yang terjadi?" Tanyanya panik mengecek tubuh Jeya saat mendapati bercak darah pada kaos putih gadis itu.

"Seharusnya aku selalu menghubungimu dan mengecek keadaanmu" lanjut Yeonseo. Terdengar sekali ia menyesal dan menyalahkan dirinya.

"Eonie... aku tak apa. Tanganku terkena pisau saat akan memasak"

Yeonseo mengusap pelan surai Jeya, lalu dilihatnya kedua telapak tangan gadis bersurai malam itu, ada sedikit luka di telunjuk kiri itu tapi cukup dalam "kau membuatku khawatir. Lain kali berhati-hatilah saat memegang pisau"

Jeya mengangguk sekali sambil tersenyum kecil.

"Cepat buka apartemennya dan akan ku obati lukamu"

Dua saudara sepupu itu masuk ke dalam apartemen. Dan Yeonseo segera mengobati luka di Jari Jeya. Sungguh telaten Yeonseo mengobati luka Jeya, bahkan sesekali ia meniup luka itu agar Jeya tak merasakan perih. Dan sejak tadi Jeya hanya menatap kakak sepupunya itu.

"Terima kasih..." lirih Jeya "mau menjadi kakakku"

Yeonseo menatap Jeya "apa Jaehan tak menganggapmu juga?" Tangan Jeya masih di genggaman Yeonseo, ia kembali mengamati luka yang mulai mengering di ibu jari gadis itu.

Jeya menggeleng "tidak, hanya saja ia jarang sekali pulang" jawab Jeya "bagaimana kabar Seoyeon?"

Baru saja Yeonseo ingin menanyakan luka itu, tapi Jeya mengubah topik, seperti sengaja melakukan itu agar Yeonseo tak menanyakan perihal luka di ibu jarinya. Luka itu memang kecil, tapi rasa sakitnya melebihi itu. Hatinya akan kembali sakit jika ia menceritakan kejadian itu. Kejadian itu adalah luka baginya.

"Seoyeon, adikku itu... dia ingin sekali ke Seoul. Tapi eomma selalu melarangnya"

"Kenapa?" Tanya Jeya.

"Dia itu ingin sekali menjadi idol, dan eomma tak suka itu. Eomma takut Seoyeon menjadi jarang pulang sepertiku" jelan Yeonseo "lagi pula aku juga tak setuju jika adikku itu menjadi idol"

"Kenapa?"

"Bahkan dia tak bisa hanya sekedar menyanyi, bagaimana bisa menjadi idol" sahutnya sambil tertawa. Jeya hanya terkekeh kecil. Ia tahu Yeonseo mencoba menghiburnya dengan leluconnya.

"Apa kau sudah makan?" Tanyanya, lalu ia menoleh ke arah dapur, berantakan sekali "kau pasti tak jadi memasak, kan? Aku bawakan kimbab. Tenang, isiannya udang tempura" katanya sambil menyerahkan kotak makan pada Jeya.

"Terima kasih"

Yeonseo mengangguk dan tersenyum pada Jeya. Gadis bersurai sebahu itu mulai melahap kimbab yang Yeonseo berikan.

"Kau tahu, teman-temanku senang dengan masakanmu"

Jeya menatap Yeonseo dengan mulut penuh makanan 'lalu?' netranya bertanya.

Yeonseo melirik Jeya yang menatapnya dengan pertanyaan di tatapannya itu.

"Aku bahkan hanya makan sedikit dan selanjutnya di habiskan teman-temanku. Kau tahu kan bangtan punya banyak coordi noona. Dan lagi, bahkan para bangtan senang dengan masakanmu, mereka selalu memintaku untuk membawakan makanan masakanmu, terutama Jungkook dan Jin"

Jeya menatap Yeonseo dengan tatapan tak percaya. Bagaimana mungkin masakannya itu di makan oleh artis kebanggaan bighit itu. Itu hanya masakan rumahan. Jeya menelan kimbab di mulutnya dengan susah payah karena cerita Yeonseo.

"Jadi kau sering-seringlah mengirimiku masakanmu"

Jeya mendelik "kau yang mau atau mereka yang mau?"

"Keduanya" jawab Yeonseo sambil terkikik.

Jeya mendengus sebal.

"Bukankah kau harusnya senang para bangtan menyukai masakanmu?"

Jeya hanya melirik sekilas.

"Kau bisa menyuruh Jean atau Juno untuk mengantarnya"

"Aku sekolah, eonie. Jean dan Juno sibuk, mereka harus datang ke tempat pelatihan dance hampir setiap hari"

"Aku tidak mau tahu, paling tidak seminggu tiga kali kau harus mengirimkan masakanmu" tuntut Yeonseo sambil melipat tangan.

"Kau pikir aku apa?"

"Manusia"

"Terserah" Jeya kesal sekarang ini. Memangnya ia siapa hingga Yeonseo menyuruhnya seperti itu.

"Terserahmu itu bisa bermakna iya dan tidak, tapi aku memaknainya dengan iya"

Jeya hanya mendelik lalu berdiri. Ia berniat ke dapur untuk mengambil air minum. Berdebat dengan Yeonseo membuat tenggorokannya kering, apalagi ia baru saja memakan kimbab.

"Emh... kau tahu jika para bangtan tinggal di Hannam?"

"Bahkan mereka tinggal di apartemen sebelah" sahut Jeya tanpa melihat Yeonseo.

"APA!"

still with youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang