XXVII: Di Vila Ekanila

4.8K 1.2K 45
                                    

Di luar, hujan turun dengan deras. Awan-awan gelap menutupi langit sehingga mempercepat kedatangan malam, padahal sekarang baru sekitar pukul enam.

"Macet, nih..." Rama memukul setir dengan kesal. "Ada apa, ya?"

"Kayaknya di depan ada demo," kata Seiji.

"Bukan demo," koreksi Celeste. "Tapi kampanye. Pasangan Sjahrir-Galih."

"Belakangan mereka sering banget kampanye," kata Billy.

"Kan sekarang memang musim kampanye," sahut Celeste. "Wajar aja."

Kelima orang di dalam sedan itu terdiam. Politik bukan topik favorit mereka, dan mereka juga sudah muak terlalu sering melihat wajah Sjahrir dan Galih di mana-mana.

"Kira-kira siapa lagi yang diundang, ya?" tanya Seiji. Cowok itu kelihatan makin jangkung dalam setelan kimono hitam. "Dari undangannya, sepertinya ini bakal jadi pesta besar."

"Tapi apa bisa kita datang berlima seperti ini?" Di tengah hujan lebat begini, Alex memilih bergelung di balik selimut sambil menonton serial favoritnya. "Jangan-jangan Toni cuma berniat mengundang Rama dan Seiji."

"Di undangan itu tertulis Biro Detektif X," kata Rama. Dia memakai kemeja batik lengan panjang warna biru gelap yang sebetulnya sangat indah, tetapi bikin cowok itu kelihatan 'bapak-bapak'. "Dan Biro Detektif X berarti kita berlima."

"Gue harap di sana ada banyak makanan," Celeste menguap. Dia sempat uring-uringan karena lupa membeli bobba. "Gue laper banget."

Dia selalu kelaparan, pikir Alex. Hari ini rambut si hacker berwarna merah seperti api. Rama memohon pada gadis itu supaya berpakaian 'normal' untuk acara ulang tahun ini. Tadi sore Celeste muncul dengan memakai celana model cutbray, jas bergaris-garis, giwang besar-besar seperti yang dipakai ahli nujum, dan high-heels setinggi sepuluh senti. Penampilannya masih tidak biasa—dia kelihatan seperti pemain sirkus—tapi Celeste ngotot dia nggak bisa tampil lebih normal lagi.

"Apa kita bisa sampai ke Vila Ekanila tepat waktu?" Billy melirik jam di dasbor mobil dengan cemas. "Acaranya tinggal satu setengah jam lagi."

Ada plester besar yang menempel di pelipis Billy. Luka bekas pukulan di wajahnya kelihatan menyakitkan.

"Mungkin sebaiknya tadi kita naik kereta ekspres saja," kata Rama.

"Alex pakai gaun," celetuk Seiji. Nada sarkas khas miliknya terdengar begitu kental. "Mana mungkin dia naik kereta."

"Aku bisa naik kereta," balas Alex. "Dengan atau tanpa gaun ini. Aku bukan anak orang kaya yang naik sedan ke mana-mana."

Billy dan Celeste ber-oooh takjub berbarengan. Rama terbahak.

"Dulu kamu anak orang kaya," balas Seiji ketus.

Tawa Rama terhenti. Alex memutuskan untuk mengabaikan Seiji dan mulutnya yang terlalu jujur itu.

"Hei, gimana kalau kita dengar lagu?" Celeste mengeluarkan ponselnya. "Supaya nggak pada bad mood."

Alex menduga Celeste akan menghubungkan ponselnya dengan perangkat audio di dasbor mobil. Tapi gadis itu malah memencet-mencet sesuatu di layar, dan tiba-tiba suara musik yang kencang mengalir dari dasbor.

Billy melongo. "Gimana caranya—"

"Oh, cuma pakai NFC, kok."

"Tapi lo bahkan nggak menyentuh pemutar musik di dasbor itu!"

"Sekarang abad dua puluh satu, Billy. Semuanya wireless."

Celeste seperti bisa menyadap apa saja dengan ponselnya. Alex jadi penasaran apa isi ponsel itu.

X: ENIGMA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang