XXXIII: Alibi

4.2K 1.2K 47
                                    


Alex tergoda untuk merobek wallpaper bermotif bunga-bunga emas yang melapisi dinding kamar Toni Ekanila. Jangan-jangan kejadiannya persis seperti di Museum Macan. Seseorang menyembunyikan Toni di balik dinding dan memberi kesan seolah-olah dia diculik.

Mereka melakukan pencarian di seluruh kamar dan tidak menemukan apa-apa. Mereka juga menggeledah ruang kerja di sebelah kamar Toni. Ruang kerja sang diva ternyata sebuah studio musik: ada sebuah grand piano besar, peralatan elektronik untuk mengaransemen lagu, ruang kedap suara berlapis kaca untuk rekaman, dan pigura-pigura berisi poster film yang pernah dibintangi Toni. Kertas-kertas yang tertumpuk di dekat piano menunjukkan bahwa Toni memang sedang menyiapkan lagu-lagu untuk album terbarunya. Namun mereka tidak menemukan Toni di sana. Selanjutnya Bernard memimpin rombongan yang resah itu ke ruang ketiga yang letaknya di sebelah kanan. Ruangan itu adalah perpustakaan pribadi Toni. Seperti perpustakaan pada umumnya, ruangan itu penuh buku.

"Apa di sini hanya ada buku?" tanya Rama pada Bernard.

Alex tahu yang sedang dipikirkan Rama adalah ruangan rahasia. Jenis yang tersembunyi di balik rak buku dan baru akan muncul kalau sebuah buku ditarik.

"Setahu saya tidak ada ruangan sejenis itu di vila ini," jawab Bernard.

"Kita harus melakukan pencarian di seluruh vila!" kata Tristan waspada. "Saya yakin Toni dan penculiknya masih berada di sini."

"Penculik?" Rama mengerling pada si sutradara. "Dia belum tentu diculik."

"Tapi bukti-buktinya sudah jelas, kan?" bantah Tristan keras kepala. "Kamar tidurnya berantakan. Jendelanya terbuka. Pasti Toni diculik."

"Atau sengaja dibuat seolah-olah terlihat seperti penculikan," sahut Seiji yang baru bergabung. Dia berdiri di depan pintu sambil memegang senter. "Toni bisa saja ada di bawah, kan?"

"Tapi, kalau dia tidak segera ditemukan..." lewat cahaya lampu senter, Tristan tampak mulai berkeringat dingin, "bisa-bisa Toni terluka seperti Renata! Kita harus berpencar untuk menggeledah vila ini!"

"Saat ini berkeliaran bisa membahayakan," kata Rama. "Listrik masih padam dan kita terkurung di sini. Penyerang Renata pasti masih bersembunyi di sekitar sini. Sedangkan Toni...."

"Saya rasa penyerang Bu Renata dan penculik Bu Toni adalah orang yang sama," kata Bernard yakin. "Kejadiannya terjadi berbarengan."

"Kita belum tahu soal itu," kata Seiji kalem. "Dan berdebat di sini hanya membuang waktu. Aku setuju dengan usul Tristan. Kita harus berpencar menjadi dua kelompok. Rama dan Tristan akan memeriksa sayap Barat. Aku dan para pelayan akan pergi ke sayap Timur. Para pelayan yang lain bisa memeriksa bagian belakang vila. Alex, kumpulkan semua tamu di ruang makan. Kita bertemu di ruang makan satu jam lagi."

...

Menyambangi lima puluh kamar dan mengumpulkan para penghuninya bukanlah pekerjaan mudah. Para tamu itu ketakutan, mengantuk dan bingung. Mereka tidak terima diusik dan lebih memilih berlindung di balik pintu kamar yang terkunci. Namun Alex tahu Seiji benar. Dengan berkumpul di ruang makan, setidaknya kita semua bisa saling menjaga. Celeste dan Billy yang sudah sadar ikut membantu. Mereka menggotong Renata dengan sebuah tempat tidur beroda dan menurunkannya di ruang makan. Dokter Sekar terus mengawasi kondisi wanita itu.

Menit-menit berlalu dalam kegelapan. Alex kelelahan sekali. Mengitari seluruh kamar itu makan waktu nyaris satu jam, dan dia merasa seakan baru bolak-balik mengelilingi sebuah stadion. Bersama Celeste dan Billy, dia duduk di lantai untuk meluruskan kaki.

"Kira-kira apa yang akan terjadi, ya?" kata Billy. Dia menerawang ke arah langit-langit yang gelap, suaranya seperti melamun. "Gue mulai merasa kalau biro detektif kita ini dikutuk."

X: ENIGMA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang