XIX: Sang Tamu

5.1K 1.2K 85
                                    


"Bill! Billy!"

Alex menyentakkan tangannya hingga terlepas, tetapi Billy menyambarnya lagi.

"Bill! Stop! Kita harus menolong Brontoseno!"

Billy tidak menggubris Alex. Sang sekretaris menariknya keluar dari restoran, menuju jalan. Matahari sudah terik di langit. Lalu lintas lebih padat dibandingkan saat Alex tiba di restoran, tetapi Billy tidak berhenti. Mereka terburu-buru menerobos jalan yang ramai itu, kemudian menyeberang menuju Museum Macan yang masih disegel.

"Mereka nggak boleh melihat kita, Lex," kata Billy setelah mereka berada cukup jauh. Suara sirene ambulans terdengar dari kejauhan. "Mereka bisa mencurigai elo!"

"Siapa?"

"Polisi, Lex!" wajah Billy bersimbah keringat. Dia sudah agak tenang. "Lo mengajak ngobrol Brontoseno! Lo bakal diminta jadi saksi mata dan lain-lain."

"Tapi gue nggak mengapa-apakan Brontoseno! Gue cuma memanggil dia sebelum dia... dia...."

"Diracun. Ada yang mau membunuh Brontoseno."

Diracun? Raut wajah Brontoseno yang mengernyit ngeri sebelum tak sadarkan diri itu bakal terus menghantui Alex. "Tapi kalau gue kabur kayak begini, bukannya justru gue kelihatan mencurigakan? Orang yang nggak bersalah nggak seharusnya lari. Pasti muka gue ada di rekaman CCTV, kan?"

"Lo nggak mau terlibat dalam urusan ini, Lex," kata Billy tegas. "Percaya deh sama gue. Soal CCTV, kalau polisi menonton semua rekamannya dari awal, mereka pasti akan tahu bahwa lo nggak beranjak dari meja lo sampai saat-saat terakhir. Dan kalau lo terpaksa diinterogasi, lo tinggal bilang bahwa lo menyapa Brontoseno karena pria itu kelihatan kurang sehat."

Billy benar. Tidak seharusnya polisi mencurigai Alex. Alibinya kuat. "Omong-omong, lo tahu dari mana bahwa gue bakal ke restoran itu, Bill? Lo ngikutin gue?"

"Gue cuma diminta Kak Seiji buat menjaga elo," kata Billy. Mereka berhenti di sebuah minimarket dan menepi ke terasnya. "Kemarin, gerak-gerik lo jadi aneh setelah makan siang. Dan lo nggak masuk ke kantor hari ini. Kak Seiji nggak percaya lo izin bikin tugas kampus. Katanya dia tahu lo udah cuti kuliah. Makanya dia minta gue buat membuntuti elo. Kak Seiji sama Kak Rama khawatir terjadi sesuatu lagi sama elo!"

Alex mencelus. Seharusnya dia sadar percuma saja membohongi Seiji. Dia teringat saat pertama kali datang ke kantor X, dan bagaimana Seiji dan Rama sudah menyelidiki latar belakangnya lebih dulu. Pasti Seiji memang sudah tahu rencanaku hari ini.

"Sekarang..." Billy akhirnya melepaskan pegangannya. "Kita menunggu."

Berita itu menyebar dengan cepat. Beberapa orang yang lewat di depan minimarket ikut menyebut-nyebut, "Ada yang dibunuh!"

Dibunuh?

"Brontoseno memang tahu bahwa ada yang menguntitnya, Bill," Alex teringat pertemuannya di kantor Brontoseno. "Makanya dia menolak ngobrol sama gue waktu di kantornya."

"Dan sekarang dia diracun," kata Billy. "Nahas sekali."

"Tapi dia bisa selamat, kan?"

"Semoga saja," kata Billy. Dia mengedik ke arah parkiran. Sebuah sedan hitam yang mengkilat baru saja masuk ke parkiran. Kaca bagian pengemudinya diturunkan, dan Alex menangkap siluet kurus Seiji. "Itu, jemputan kita udah ada."


...


Rama mengetuk-ngetukkan jarinya dengan tak sabar ke meja. Di sebelahnya, Seiji sedang berbaring di lantai, kedua tangannya terlipat di dada seperti jenazah. Sesekali cowok itu mengembuskan napas dengan panjang.

X: ENIGMA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang