XXVIII: Sang Diva

4.8K 1.1K 47
                                    


Mereka mengikuti Tristan dan para tamu lainnya menuju ruang depan Vila Ekanila. Untuk ukuran ruang depan, tempat itu terhitung raksasa. Rumah Tante Karen bisa masuk seluruhnya ke ruangan itu.

Kemudian seorang pria dalam setelan tuksedo yang sangat rapi muncul dan berdeham seperti orang penting.

"Selamat malam."

Para tamu yang sibuk berceloteh berhenti dan menatap pria itu.

"Saya Bernard, manajer di Vila Ekanila," kata pria itu. "Atas nama Bu Toni dan Pak Rusly, saya menyambut Anda semua di tempat ini. Acaranya akan dimulai beberapa menit lagi, diawali dengan ucapan selamat ulang tahun lalu disusul jamuan makan. Saya harap Anda semua belum terlalu lapar."

Seorang wanita gemuk di sebelah Seiji tertawa sopan. Alex mengamati tamu lain tidak ada yang menertawakan lelucon hambar itu.

"Jika persiapan sudah tuntas, seorang pelayan akan menjemput Anda menuju ruang makan," kata Bernard. "Untuk sementara, mohon menunggu di sini."

Lalu Bernard menghilang ke balik pintu.

"Ada berapa pelayan di rumah ini?" tanya Seiji.

"Sejujurnya saya kurang tahu, karena jarang mampir ke sini," kata Tristan. "Tapi Toni pernah menelepon untuk minta rekomendasi agen penyalur pelayan. Waktu itu dia bilang butuh tukang masak, tukang kebun, lima pelayan dan dua orang supir."

"Hanya delapan orang asisten rumah tangga?" Rama terbelalak. "Untuk rumah dengan lima puluh kamar? Bukankah itu terlalu sedikit?"

Alex membayangkan menjadi salah satu pelayan itu. Kalau dirata-rata, dalam sehari seorang pelayan minimal harus membereskan delapan sampai sepuluh kamar. Pinggangku pasti akan patah dalam sehari.

"Toni sangat menjaga privasi," kata Tristan. "Dia tidak suka banyak orang yang mondar-mandir di rumahnya."

"Kalau dia sangat menjaga privasi, kenapa dia mengadakan pesta ulang tahun besar-besaran seperti ini?" tanya Celeste.

Dan jumlah tamu yang ada di ruangan ini kira-kira lima puluh sampai enam puluh orang, cocok dengan jumlah kamar di vila ini, pikir Alex.

"Soal itu, mungkin bisa kita tanyakan sendiri pada Toni," Tristan mengedip. "Tapi menurut saya, Toni tak tahan lagi bersembunyi di vila ini. Dia itu seorang bintang. Di sini tak ada yang melihat sinarnya."

"Maksud Anda, Toni Ekanila akan kembali ke dunia hiburan?" tanya Billy.

Tristan mengangkat bahu dan tersenyum misterius.

Beberapa menit kemudian, seorang pelayan yang kelihatan lelah meminta para tamu untuk mengikutinya. Mereka digiring melewati koridor panjang dengan langit-langit tinggi yang mengingatkan Alex pada lorong-lorong istana. Di samping koridor ada jendela-jendela kaca raksasa yang menunjukkan sebuah taman yang megah dan ditata rapi.

Di ujung koridor itu, ada ruang makan yang mirip aula resepsi pernikahan. Ada panggung dengan hiasan mawar-mawar putih sungguhan di satu sisi, dan meja-meja bulat bertaplak sutra di sekelilingnya. Di atas meja-meja itu telah ditata peralatan makan dari emas, dan sebuah kartu bernomor.

Bernard si kepala pelayan naik ke atas panggung dan mengambil mik.

"Dalam kartu undangan yang Anda terima terdapat sebuah nomor," kata Bernard. "Itu adalah nomor meja Anda. Silakan menuju meja masing-masing."

Seiji mengeluarkan undangan untuk X dari balik kimononya. Sebuah nomor kecil yang ditulis dengan tinta emas berkilau dari sudut belakang.

"Delapan," Rama membaca nomor itu. "Kita di meja delapan."

X: ENIGMA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang